Sifat Tuhan Berkata-kata ini Mutlak. Tuhan berkata-kata sejak keazalian sampai ke keabadian tanpa satu patah kata dan tanpa suara. Manusia berbicara dalam satu tempuh menggunakan menempuh-patah kata dan mengeluarkan suara. Tetapi Tuhan berkata-kata dalam kondisi Kalam-Nya yang pertama dengan Kalam-Nya yang terakhir adalah Kalam yang sama, tidak berpisah, tidak berbeda dan tidak bersuara. Begitu juga dengan sifat Tuhan yang lain. Sifat kemutlakan menyebabkan Tuhan berkuasa berhubungan dengan makhluk-Nya tanpa terjadi tabrakan Wujud Tuhan dan sifat Tuhan dengan wujud makhluk dan sifat makhluk. Kemutlakan sifat Tuhan menyebabkan tidak mungkin makhluk termasuk manusia berhubungan dengan perbuatan atau sifat Tuhan, apalagi Zat Tuhan. Manusia yang membalingkan tombaknya perlu mengadakan beberapa gerakan, tetapi perbuatan Tuhan tidak membutuhkan pergerakan. Tidak mungkin manusia menggunakan perbuatan Tuhan dalam melakukan perbuatannya. Kebenaran ini tidak terjangkau oleh logika. Hukum logika mengatakan tidak mungkin Tuhan Mengetahui benda-benda alam jika Ilmu-Nya tidak ada hubungan dengan benda-benda tersebut. Hukum logika juga mengatakan tidak mungkin Tuhan menciptakan alam jika Kuasa-Nya tidak ada hubungan dengan alam. Hukum logika tidak mengerti bahwa pada tahap "Tuhan melampaui segala sesuatu" keabadian yang lalu (azali) dan keabadian yang akan datang (abadi) adalah satu waktu yang sama, bahkan waktu tidak ada pada tahap ini. Itulah kemutlakan. Pada tahap kemutlakan jika sifat Wujud dipakaikan kepada Tuhan maka ia adalah Wujud Mutlak yang tidak ada awal, tidak kesudahan, tidak menempati ruang dan tidak ada persaingan dari yang tidak Mutlak.
Kebenaran Hakiki menyatakan bahwa Allah Yang Maha Suci, Maha Tinggi, Maha Besar, melampaui apa ini sifat yang dianggap untuk-Nya. Dia melampaui tingkat Wujud. Wujud merupakan pernyataan pertama tentang Zat Allah Yang Maha Tinggi. Kebanyakan sufi menyamakan Wujud dengan Zat Yang Maha Suci. Perbedaan tingkat Wujud dengan Zat Allah Yang Melampaui Segala Sesuatu sangat halus sehingga kebanyakan manusia gagal menyadarinya atau enggan menerima perbedaan tersebut. Banyak manusia menyembah Wujud sebagai Tuhan dan gagal melampauinya untuk mencapai tujuan sebenarnya penyembahan, ketaatan dan penyayangan yang melewati tahap tersebut. Mereka menganggap Wujud sebagai sumber kepada segala yang maujud dan menyebabkan segala kejadian. Mereka juga lupa bahwa Wujud tergantung dan membutuhkan Zat-Nya yang melampaui Wujud atau yang tidak ada. Sebab itulah kefanaan yang menyeluruh atau ketidakwujudan yang sejati tidak menemukan seseorang dengan Kebenaran Hakiki. Uni Wujud (wahdatul wujud) juga gagal menemukan Kebenaran Hakiki. Kebaqaan (kekekalan bersama Tuhan) juga gagal melakukannya. Kebenaran Hakiki hanya ditemukan dalam kesadaran yang sepenuhnya, menyadari bahwa: "Katakanlah: 'Tuhan kami adalah Allah!' Kemudian teguhkan pendirian ". Kebenaran Hakiki ditemukan melalui iman yang teguh.
Pikiran, ilham dan kasyaf manusia bertingkat-tingkat. Jadi pemahaman, keyakinan dan pegangan mereka juga berbeda mengenai keunikan dan kemutlakan Tuhan dan sifat Tuhan yang tidak mampu dihurai oleh akal pikiran. Orang yang mencari Tuhan dengan menggunakan akal pikiran akan jatuh ke dalam salah satu golongan. Golongan pertama menjadi gila. Kelompok ke dua menjadi atheis (tidak percaya keberadaan Tuhan). Kelompok ke tiga mengaku kalah dan menyerah. Orang yang mencari Tuhan melalui ilham adalah kaum filsuf dan sebagian dari kaum sufi. Filsuf tertarik dengan sifat kesempurnaan Tuhan dan ahli sufi asyik dengan sifat keelokan Tuhan. Sufi yang lebih maju mencari Tuhan dengan kasyaf mereka dan mereka temui bayangan Tuhan. Sufi yang menyaksikan bayangan Tuhan banyak mengeluarkan pendapat yang ganjil-ganjil tentang Tuhan. Sufi yang dapat melewati tingkat bayangan akan menjadi seperti ahli pikir kaum ke tiga yang tunduk, menyerah dan beriman. Pengakuan terhadap kedaifan dan kejahilan diri merupakan pintu kepada penyerahan (keislaman) yang sejati yang membawa kepada mengenal Yang Hakiki sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah saw Karena itulah sufi yang arif bersepakat dengan orang alim yang benar. Titik pertemuan mereka adalah syariat yang menggabungkan yang lahir dengan yang batin.
No comments:
Post a Comment