Thursday, 4 April 2013

Setiap orang yang hidup dalam dunia ini membangun kehidupan masing-masing berdasarkan dorongan naluri alami seperti keinginan berkeluarga, mencari rezeki, memiliki tempat tinggal dan sebagainya yang mensejahterakan kehidupan di dalam alam ini. Hasilnya seseorang itu berhasil memiliki sesuatu seperti pekerjaan yang baik, tempat tinggal yang nyaman dan fasilitas dasar lain yang dibutuhkan. Masing-masing juga sudah berkeluarga, hidup bahagia bersama istri dan anak-anak. Bukan mudah mau membangun kehidupan yang nyaman dan bahagia itu. Seseorang itu harus melalui kesulitan dan pengorbanan untuk memperolehnya. Apakah jika seseorang mau memasuki bidang spiritual dia harus meninggalkan atau membuang apa saja yang telah dimilikinya itu? Apakah dia meninggalkan pekerjaan, rumah tangga, istri, anak-anak dan masyarakat lalu lari ke hutan dan gua?
Orang yang cenderung kepada aliran tarekat tasawuf gemar membuat kehidupan wali-wali yang dibaca dari buku-buku sebagai teladan. Aspek kewalian yang paling menarik perhatian adalah kekeramatan. Kekeramatan dianggap sebagai bukti ketinggian makam seseorang wali itu. Kemampuan wali mengeluarkan kekeramatan dikaitkan dengan sifat zuhud dan bertawakal penuh yang dimiliki oleh wali tersebut. Orang yang berminat kepada tarekat tasawuf itu mengandaikan jika mau memperoleh pangkat kewalian dan bisa mengeluarkan kekeramatan, perlulah dia memilih hidup bertajrid sepenuhnya dengan meninggalkan ikhtiar dan dia harus bertawakal sepenuhnya kepada Allah Sikap melulu bertajrid membuat seseorang meninggalkan pekerjaan, istri, anak-anak, masyarakat dan dunia seluruhnya. Dia lari ke hutan, ke puncak gunung dan ke gua-gua. Dia mengasingkan dirinya dari segala-galanya yang dia anggap bisa mencegah perkembangan kerohaniannya. Ketika di dalam pengasingan itu dia meniru cara hidup wali-wali. Dia memaksa dirinya untuk menjadi kuat beribadah dan berzikir. Tidak memperdulikan keselamatan dirinya dan tidak mengikuti perkembangan yang terjadi di sekelilingnya.

Biasanya orang yang bertajrid secara melulu ini tidak dapat bertahan lama. Kesabarannya tidak cukup kuat untuk menanggung kesusahan yang mendatanginya saat dalam pengasingan. Kerinduan kepada anak-anak selalu mengganggu jiwanya. Kecemburuan terhadap istri yang jauh di mata merisaukan pikirannya. Harta yang banyak ditinggalkan mungkin sudah direbut oleh orang lain. Dia juga tidak dapat makan dengan cukup, tidurnya juga tidak nyaman. Tubuhnya menjadi lemah dan semangatnya juga lemah. Akhirnya dia tidak tahan lagi menanggung penderitaan dan kegelisahan. Dia lari dari alam pengasingan dan kembali ke kehidupannya yang lama. Setelah kembali dia melihat kerugian yang sudah dialaminya selama dia lari ke hutan. Kerugian harus dituntut ganti. Kali ini dia menggunakan sarana apapun untuk menebus kembali waktu dan kesempatan yang telah terlepas darinya. Kelakuannya menjadi lebih buruk dari sebelum dia lari ke dalam alam pengasingan dahulu.

Bertajrid secara melulu mempengaruhi yang tidak baik kepada orang yang mencintai jalan spiritual. Tidak mungkin seseorang yang baru mau memulai latihan tarekat spiritual beramal seperti wali-wali yang sudah berpuluh-puluh tahun melatihkan diri. Tindakan membuang segala-galanya yang dimilikinya secara tergesa-gesa membuatnya berhadapan dengan tantangan dan cobaan yang menggoncangkan imannya dan menyebabkan dia berputus asa. Dia tidak seharusnya meniru secara melulu kehidupan wali-wali yang sudah mencapai makam keteguhan. Seseorang harus melihat ke dirinya sendiri; mengidentifikasi posisinya, kemampuannya dan daya tahannya.

No comments:

Post a Comment