Sunday, 21 April 2013

Seseorang yang mencintai Allah dan ingin berada di sisi-Nya pasti sangat ingin untuk mencapai kepribadian yang suci bersih. Dalam membentuk kepribadian itu dia gemar mengikuti landasan syariat, kuat beribadah dan menjauhkan diri dari perbuatan maksiat dan dosa. Dia sering bangun pada malam hari untuk melakukan salat tahajud dan selalu pula melakukan puasa sunat. Dia menjaga tingkah-laku dan akhlak dengan mencontoh apa yang ditampilkan oleh Nabi saw Hasil dari kesungguhannya itu terbentuklah padanya kepribadian seorang muslim yang baik. Meskipun demikian dia masih tidak mencapai kepuasan dan kedamaian. Dia masih tidak mengerti tentang Allah swt. Banyak persoalan yang timbul di dalam kepalanya yang tidak mampu dihuraikannya. Dia telah bertanya kepada mereka yang alim, tetapi dia tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan hatinya. Jika ada pun jawaban yang baik disampaikan kepadanya dia tidak bisa menghayati apa yang telah dijelaskan itu. Dia mempelajari kitab-kitab tasawuf yang besar-besar. Ulama tasawuf telah memberikan penjelasan yang bisa diterima oleh akalnya namun, dia masih merasakan kekosongan di satu sudut di dalam dirinya. Bisa dikatakan yang dia sampai ke perbatasan akalnya.

Orang yang gagal mencari jawaban dengan kekuatan akalnya dan menemui kebuntuan dalam mencari penjelasan atas pertanyaan pertanyaan yang keluar dari pemikiran dan kejadian di masyarakat khususnya dalam hubungan ketuhanan dan pemahaman yang lembut. maka Jalan yang disarankan ialah uzlah atau mengasingkan diri dari orang banyak. Jika dalam suasana biasa akal tidak mampu memecahkan kubuntuan kebuntuan, dalam suasana uzlah hati mampu membantu akal secara tafakur, merenungi hal-hal yang tidak dapat dibayangkan oleh akal biasa. Uzlah yang direkomendasikan ini bukanlah uzlah sebagai satu cara hidup yang berkelanjutan tetapi ia adalah satu bentuk latihan spiritual untuk memantapkan rohani agar akalnya dapat menerima pancaran Nur Kalbu karena tanpa sinar Nur Kalbu tidak mungkin akal dapat memahami hal-hal ketuhanan yang halus-halus, dan tidak akan diperoleh iman dan tauhid yang hakiki.

Hati adalah bangsa rohani atau nurani yaitu hati berkemampuan mengeluarkan nur jika ia berada di dalam keadaan suci bersih. nur yang dikeluarkan oleh hati yang suci bersih itu akan menerangi otak yang bertempat di kepala yang menjadi kendaraan akal. Akal yang diterangi oleh nur akan dapat mengimani hal-hal gaib yang tidak dapat diterima oleh hukum logika. Beriman kepada hal gaib menjadi jalan untuk mencapai tauhid yang hakiki.

Nabi Muhammad saw sebelum diutus sebagai Rasul pernah juga mengalami kebuntuan akal tentang hal ketuhanan. Pada masa itu banyak pendeta Nasrani dan Yahudi yang arif tentang hal tersebut, tetapi Nabi Muhammad saw tidak pergi ke mereka untuk mendapatkan jawaban yang mengganggu pikiran beliau, sebaliknya beliau telah memilih jalan uzlah. Ketika usia beliau 36 tahun beliau melakukan uzlah di Gua HiraĆ¢. Beliau tinggal sendirian di dalam gua yang sempit lagi gelap, terpisah dari istri, anak-anak, keluarga, masyarakat hingga cahaya matahari pun tidak mendekati beliau Praktek uzlah yang demikian baginda saw lakukan secara berulang-ulang sehingga umur baginda saw mencapai 40 tahun. Waktu yang paling beliau gemar beruzlah di Gua HiraĆ¢ 'adalah pada bulan Ramadan. Latihan uzlah yang beliau lakukan dari umur 36 sampai 40 tahun itu telah memantapkan rohani beliau sehingga berupaya menerima tanggungjawab sebagai Rasul. Latihan saat uzlah telah menyucikan hati beliau dan meneguhkannya sehingga hati itu mampu menerangi akal untuk menafsirkan wahyu secara halus dan lengkap. Wahyu yang dibacakan oleh Jibril hanyalah singkat tetapi Rasulullah saw dapat menghayatinya, memahaminya dengan tepat, mengamalkannya dengan tepat dan menyampaikannya kepada umatnya dengan tepat meskipun beliau tidak tahu membaca dan menulis.

Begitulah kekuatan dan kebijaksanaan yang lahir dari latihan selama uzlah. Tanpa latihan dan persiapan yang cukup seseorang tidak dapat masuk ke dalam medan tafakur tentang ketuhanan. Orang yang masuk ke dalam medan ini tanpa persediaan dan kekuatan akan menemui kebuntuan. Jika dia masih juga menabrak tembok kebuntuan itu dia akan jatuh ke dalam jurang gila.

Masyarakat hidup dalam suasana: "Tugas utama adalah mengelola kehidupan harian dan tugas paruh pula menghubungkan diri dengan Allah swt". Orang yang di dalam suasana ini selalu ada waktu untuk apa juga aktivitas tetapi sulit menemukan kesempatan untuk bersama-sama Allah swt. Orang yang seperti ini jika diperingatkan agar mengurangi aktivitas kehidupannya dan memperbanyak aktivitas hubungan dengan Allah mereka memberi alasan bahwa Rasulullah dan sahabat-sahabat beliau tidak meninggalkan dunia lantaran sibuk dengan Allah. Mereka ini lupa atau tidak mengerti bahwa Rasulullah saw dan para sahabat telah mendapat wisal atau penyerapan hal yang abadi. Hati mereka tidak berpisah lagi dengan Allah Kesibukan mengelola urusan harian tidak membuat mereka lupa kepada Allah SWT satu detik pun. Orang yang mata hatinya masih tertutup dan cermin hatinya tidak menerima pancaran Nur Sir, tidak mungkin hatinya berhadap kepada Allah swt ketika sedang sibuk melayani makhluk Allah swt. Orang yang insaf akan kelemahan dirinya akan mengikuti jalan yang dirintis oleh Rasulullah saw dan diikuti oleh para sahabat yaitu memisahkan diri dengan semua jenis kesibukan terutama pada sepertiga malam yang akhir. Tidak ada hubungan dengan orang banyak. Tidak dikunjung dan tidak mengunjungi. Tidak ada koran, radio dan televisi. Tidak ada hubungan dengan segala sesuatu kecuali hubungan dengan Allah swt

No comments:

Post a Comment