Dari kalangan hamba-hamba-Nya dipilihnya siapa saja yang Dia kehendaki dan dibukakan hijab di antara hamba-Nya itu dengan cahaya roh ahmad yang paling latif itu. Hamba yang ada hubungan dengan roh yang paling latif secara demikian berkedudukan sebagai khalifah Allah. Khalifah Allah tingkat paling tinggi adalah golongan nabi-nabi, diikuti oleh golongan wali-wali dan orang salih. Khalifah Allah bertugas memberi peringatan tentang hari pertemuan dengan Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, Maha Perkasa. Mereka membimbing umat manusia ke jalan yang lurus yaitu jalan Tuhan sekalian alam.
Hamba yang berkedudukan sebagai khalifah Allah telah dibawa ke makam penyaksian yang meneguhkan keyakinan mereka, sebagaimana Allah meneguhkan keyakinan Nabi Ibrahim as
Dan demikianlah Kami bukakan kepada Ibrahim kerajaan langit dan bumi sehingga jadilah dia dari orang-orang yang benar-benar yakin. (Ayat 75: Surah al-An'aam)
Keyakinan yang sebenarnya membawa hamba kepada suasana:
Sesungguhnya aku hadapkan wajahku kepada yang menciptakan semua langit dan bumi, dengan ikhlas, dan tidaklah aku dari orang-orang yang mempersekutukan-Nya. (Ayat 79: Surah al-An'aam)
Hamba yang sejati adalah hamba yang dapat melakukan "menghadap wajahnya kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi, dengan ikhlas dan tidak mempersekutukan-Nya". Inilah makam yang paling tinggi dapat dicapai oleh seorang hamba Tuhan. Wajah hamba Tuhan menghadap kepada Yang Hakiki. Dia juga menyaksikan kerajaan-Nya. Perbuatan lahiriah dan praktek hatinya ikhlas karena Allah swt, bersih dari syirik. Itulah para hamba yang layak bergelar khalifah Allah. Kepada mereka Allah tujukan firman-Nya:
Sesungguhnya orang-orang yang berkata: "Tuhan kami adalah Allah!" Kemudian mereka tetap lurus, niscaya akan turun kepada mereka malaikat (yang mengatakan), "Jangan kamu takut dan jangan kamu berdukacita dan bergiranglah dengan surga yang pernah dijanjikan kepada kamu. Kami adalah pelindung-pelindung kamu pada penghidupan di dunia dan di akhirat, dan untuk kamu di dalamnya apa saja keinginan dirimu dan untuk kamu di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai jamuan dari Pengampun, Penyayang ". (Ayat 30 - 32: Surah Fussilat)
Mereka adalah golongan yang menerima pembentukan yang paling baik dari Allah swt
Pencelupan Allah! Dan siapakah yang lebih baik pencelupannya dari Allah? Dan akan Dia lah kami menyembah . (Ayat 138: Surah al-Baqarah)
Mereka yang menerima pencelupan yang paling baik adalah yang kekal di dalam kehambaan, mengabdikan diri kepada Allah, menyembah-Nya dan melaksanakan perintah dan peraturan-Nya. Mereka memulai perjalanan sebagai hamba dan kembali sebagai hamba juga. Segala pengalaman spiritual yang dilalui adalah untuk memperteguh kehambaan itu, menyesuaikan diri dengan al-Quran dan as-Sunah, mencontoh kehidupan Nabi Muhammad saw dan para sahabat yang mendapat keridhaan Allah Mereka kembali kepada kesadaran kemanusiaan biasa seperti semula karena tanpa kesadaran kemanusiaan hukum dan peraturan Tuhan tidak dapat dilaksanakan. Manusialah yang diangkat menjadi Rasul dan manusia juga yang mengembangkan ajaran Tuhan. Malaikat tidak diangkat menjadi Rasul untuk memimpin manusia. Tuhan memilih dari kalangan manusia juga untuk memimpin umat manusia. Sekalipun ada orang yang diizinkan mengalami berbagai suasana fakta tetapi itu bukanlah tujuan. Tujuannya adalah membentuk insan yang layak disebut umat Nabi Muhammad saw yang berkedudukan sebagai hamba Tuhan.
Si hamba telah memanjat gunung yang tinggi. Dengan izin dan melalui bimbingan-Nya si hamba itu selamat dari segala bahaya yang ada di sepanjang jalan. Bahaya yang besar ada dua jenis. Bahaya jenis pertama datangnya dari luar, dibawa oleh setan, dunia yang menipu daya dan makhluk yang menjadi agen setan. Bahaya tersebut ditemukan dalam perjalanan menuju Tuhan. Penghapusan kesadaran diri menjadi penawar untuk menghancurkan bahaya tersebut. Setelah melewati bahaya yang datang dari luar itu si hamba berhadapan pula dengan bahaya yang datang dari dirinya sendiri yang bergerak melalui hawa nafsunya, memakai pakaian kehendak, cita-cita, angan-angan dan harapan. Selagi si hamba memiliki kemauan yang keras atau cita-cita yang kuat dia tidak akan selamat dari bahaya dirinya. Nafsu mudah terangsang oleh sifat Rabbaniah (sifat ketuhanan). Nafsu mudah lupa diri dan memakai sifat yang tidak layak dipakai olehnya. Bahaya jenis ini hanya terhapus melalui penyerahan kepada Allah swt secara menyeluruh dan mengikat dirinya dengan tali kehambaan walau bagaimana tinggi peringkat yang dicapainya.
Dalam perjalanan meng si hamba melepaskan segala hak kepada Yang Empunya Hak seperti orang membuka pakaiannya dan diserahkannya kepada Tuan pakaian. Penelanjangan secara menyeluruh atau tajrid menjadi kendaraannya. Di dalam kendaraan tajrid tidak ada ilmu dan tidak ada makrifat. Si hamba semata-mata berdiri tegak demi Wajah Allah, untuk-Nya semata-mata dan bersama-Nya dalam segala hal dan semua ketika. Si hamba menitipkan namanya, sifatnya dan keberadaannya kepada Allah swt sehingga dia masuk ke Hadrat-Nya tanpa nama, tanpa sifat, tanpa memperhatikan diri sendiri dan makhluk lainnya juga tidak ada. Pengalaman fakta-fakta tidak melepaskan pandangannya kepada Allah swt Insan kamil juga tidak bisa menjadi hijab di antara hamba dengan Allah swt Si hamba masuk ke Hadrat Allah tanpa bekal. Penyerahan itulah kekuatan sejati yang menggerakkannya untuk maju terus hingga sampai ke tujuan.
Kini Allah kembalikan apa yang diserahkan kepada-Nya untuk dijaga. Tuan pakaian mengembalikan pakaiannya dan dia diizinkan memakai pakaian tersebut sebagai menyatakan bahwa dia adalah hamba Tuhan. Bila si hamba memakai pakaian hamba Tuhan maka Tuhan mengatur kehidupannya, sebagaimana yang dilakukan oleh Tuan terhadap hamba-Nya.
Tahap awal kembali kepada kesadaran kemanusiaan si hamba hanya menyaksikan kekuasaan Tuhan semata-mata. Dia tidak melihat efektivitas hukum yang Tuhan tempatkan pada makhluk-Nya. Hatinya melihat bahwa makhluk dengan zat dirinya tidak memiliki apa-apa daya, tidak mampu mendatangkan manfaat atau mudarat. Dalam kesadaran yang demikian jika dia berhadapan dengan badai dia tidak akan mencari perlindungan. Jika dia berhadapan dengan kilat dan petir juga dia tidak mencari perlindungan. Jika matanya kebetulan bersamaan memandang ke matahari dia tidak bersegera mengalihkan pandangannya. Dalam menghadapi semua yang terlihat mempengaruhi itu hatinya berkata, "Kamu adalah makhluk Tuhan. Kamu tidak ada kekuatan merusak daku. Hanya Tuhan yang memiliki kekuasaan ". Keyakinan yang kuat kepada Tuhan melindunginya. Bila dia menghadapi anasir alam dengan menempatkan ketergantungan bulat kepada Tuhan hal yang mengagumkan berubah menjadi 'jinak' dan 'mesra.' Angin kencang mengeluarkan lagu yang merdu. Cahaya kilat menjadi permainan bunga api yang indah. Matahari yang sedang terik memancar terlihat suram, menyentuh bola mata dengan lemah lembut.
Ketika berada pada tahap ini si hamba tidak tahu berterima kasih kepada sesama manusia. Dia hanya melihat Tuhan yang memberi. Bila dia bergerak lebih jauh ke dalam kesadaran keinsanan pandangannya akan berubah. Jika dia menerima sesuatu dari makhluk, sekalipun dia melihat Pemberi sebenarnya adalah Tuhan, tetapi dia sudah bisa menghargai makhluk yang dipilih oleh Tuhan menjadi utusan yang menyampaikan karunia Tuhan itu dan dia berterima kasih kepadanya. Terima kasih kepada makhluk dan syukur kepada Tuhan bisa terjadi dalam satu waktu. Dia juga sudah bisa menghormati anasir-anasir alam yang mempengaruhi karena dia melihat Tuhan yang menempatkan efek tersebut kepada mereka. Sebagai menghormati dan menerima aturan Tuhan dia menyatakan efek yang ada dengan anasir-anasir tersebut. Dia sudah bisa melihat bahwa angin, petir dan matahari dapat merusak dengan izin Allah swt Efek yang Tuhan taruh kepada anasir-anasir tersebut merupakan hak Tuhan kepada mereka untuk bekerja menurut fitrah masing-masing.
Si hamba yang dibawa kembali ke kesadaran keinsanannya dan ditentukan untuk menjalani sesuatu tugas khusus sebagai hamba Tuhan akan terlebih dahulu dibawa ke pengalaman kehadiran Fakta Habiballah, kekasih Allah yaitu Nabi Muhammad saw
No comments:
Post a Comment