Seseorang itu perlu membuat tes kepada hatinya sendiri sejauh mana kekuatannya beriman, berserah diri dan yakin dengan janji Allah swt. Ia juga menjadi pengukur pada tingkat mana seseorang yang berjalan di jalan spiritual itu berada. Agar tau tingkatan diri dan tanda kedekatan Allah itu seberapa. Misalkan tes khusus kepada harta kekayaan. Properti merupakan sesuatu yang sangat diperlukan oleh manusia. Manusia membutuhkan harta untuk menanggung kebutuhan hidupnya, bahkan ibadah-ibadah seperti haji dan zakat harus dilakukan dengan menggunakan harta. Sedekah juga membutuhkan harta. Membuat kebaikan seperti mendirikan masjid, rumah sakit, sekolah dan lain-lain juga membutuhkan harta. Karena besarnya peran harta kepada kehidupan manusia, maka kebanyakan dari kegiatan manusia berkisar pada soal harta atau ekonomi. Pendidikan dan keterampilan disalurkan ke arah ekonomi. Keberhasilan atau kegagalan dinilai melalui faktor ekonomi. Perhatian manusia selalu tertuju kepada soal ekonomi atau harta dalam membuat keputusan.
Bila harta sudah terbentuk dalam jiwa seseorang manusia akan menjual martabat dirinya karena harta. Orang miskin sanggup diperkudakan oleh orang kaya karena harta. Orang kaya sanggup melakukan korupsi dan penganiayaan karena harta. Harta menjadi raja menguasai jiwa raga manusia. Segala sesuatu dinilai dengan harta. Persahabatan harus dibeli dengan harta. Kesetiaan juga harus dibayar dengan harta.
Perhatian orang yang sedang berjalan pada jalan spiritual agar memperhatikan hatinya, bagaimanakah hubungan hatinya dengan harta. Ia menyatakan bahwa orang yang telah sampai kepada Allah SWT dan memperoleh makrifat-Nya tidak seharusnya menyimpan harta, hendaklah dia membelanjakan ke jalan Allah dan yakin dengan janji Allah tentang rezekinya. Orang yang masih dalam perjalanan itu harus membelanjakan ke jalan Allah menurut kesanggupannya. Sejarah banyak menceritakan tentang sikap hamba-hamba pilihan Allah swt terhadap harta.
Ukuran keyakinan kita akan Allah dan janji janji Allah dalam membalas amal ibadah kita itu perlu dibuktikan lewat bukti nyata, yaitu bukti kita mempraktekkan keyakinan kita itu dengan menjalankan dalam perbuatan nyata, setelah kita membuktikan lantas Allah juga menunjukkan bukti akan janjinya, seperti misal Allah menjanjikan kalau pohon akan berbuah, bagaimana bisa pohon itu berbuah, kalau kita saja ndak nanam pohonnya,
Abu Bakar as-Siddik ra menyumbangkan seluruh hartanya untuk jihad fi-sabilillah, tidak ada satu dirham pun disimpannya. Bila Rasulullah saw bertanya kepadanya mengapa tidak ditinggalkan sedikit buat mengelola kebutuhannya, beliau ra menjawab, "Cukuplah Allah dan Rasulullah bagiku."
Abdul Rahman bin Auf yang terkenal dengan kekayaannya, mencari harta bukan untuk kepentingan dirinya tetapi untuk penggunaan menyebarkan agama Allah swt. Salman al-Farisi ketika menjabat amir, tidak mengambil gajinya, sebaliknya ia menganyam daun kurma untuk dijadikan bakul dan tikar. Hasil anyamannya dijualnya dan apa yang diperolehnya dibagi menjadi tiga bagian. Satu bagian sebagai modal putaran, satu bagian buat belanja anggota rumahnya dan satu bagian lagi disedekahkan kepada orang miskin.
Imam as-Syafi'i ra sekembalinya ke Makkah dari Yaman telah dihadiahkan puluhan ribu uang emas. Sebelum memasuki kota Makkah beliau telah mendirikan sebuah tenda di luar kota. Dikumpulkan kaum fakir dan miskin dan disedekahkan seluruh uang yang diterimanya sebagai hadiah itu. Setelah semua uang itu habis disedekahkan barulah beliau masuk ke kota Makkah.
Rabiatul Adawiah hanya menyimpan sehelai tikar yang usang sebagai sajadah dan sebuah kendi buat mengisi air untuk wuduknya. Dia tidak menyimpan makanan untuk petangnya. Banyak lagi kisah aulia Allah swt yang menggambarkan bahwa tidak sebesar zarah pun hati mereka terikat dengan harta. Mereka melihat pengidupan dunia ini hanyalah persinggahan sebentar, tidak perlu mengambil pasokan.
Bagi orang yang masih dalam perjuangan dan belum lagi sampai kepada Allah, mereka tidak sanggup berbuat sebagaimana yang dilakukan oleh aulia Allah swt. Namun demikian jika dibiarkan harta melekat pada hati akan membahayakan hati itu sendiri. Jadi biasakanlah berpisah dari harta yang dicintai agar rohani akan menjadi lebih kuat dalam perjalanan menuju Allah swt. Allah swt berfirman:
Harus orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya; dan siapa yang disempitkan rezekinya, maka hendaklah ia memberi nafkah dari apa yang diberikan Allah kepadanya (hanya yang mampu); Allah tidak membebani seseorang melainkan (sekedar kemampuan) yang diberikan Allah kepadanya. (Orang-orang yang dalam kesempitan harus ingat bahwa) Allah akan memberikan kesenangan sesudah berlakunya kesusahan. (Ayat 7: Surah at-Talaaq)
No comments:
Post a Comment