Saturday 13 April 2013

Kita bertauhid melalui dua cara, pertama bertauhid dengan akal dan keduanya bertauhid dengan hati. Bidang akal adalah ilmu dan cakupan ilmu sangat luas, mulai dari pohon ke dahan-dahan dan selanjutnya ke ranting-ranting. Setiap ranting ada ujungnya, yaitu penyelesaiannya. Ilmu bersepakat pada hal pokok, toleran pada cabangnya dan berselisih pada rantingnya atau penyelesaiannya. Jawaban suatu masalah selalu berubah-ubah menurut pendapat baru yang ditemukan. Apa yang dianggap benar pada awalnya disalahkan pada akhirnya. Karena sifat ilmu yang demikian masyarakat yang larut membahas suatu hal dapat mengalami kebingungan dan kekacauan pikiran. Salah satu hal yang mudah mengganggu pikiran adalah soal takdir atau Qada dan Qadar. Jika persoalan ini dibahas hingga kepada yang halus-halus seseorang akan menemui kebuntuan karena ilmu tidak mampu memberikan jawaban yang konkret. Qada dan Qadar diimani dengan hati. Tugas ilmu adalah membuktikan kebenaran apa yang diimani. Jika ilmu bertindak menggoyangkan keimanan maka ilmu itu harus diblokir dan hati dibawa ke tunduk dengan iman. Kalimat Hikmah keempat di atas membimbing ke arah itu agar iman tidak dicampur dengan keraguan.

Karena ketergantungan pada akal dan ilmu yang dipelajari, lantas kemudian seseorang akan mengklaim pendapatnya adalah pendapat yang paling benar di antara pendapat orang lain, dan penilaian kebenaran kemudian diacukan pada pendapat perorangan, padahal selain Nabi SAW tiada manusia yang maksum terjaga dari dosa dan kesalahan, artinya pendapat siapapun bisa saja salah, apalagi kemudian mentakwil al-qur'an dengan takwil menurut pendapat dirinya sendiri, orang lebih suka memperdebatkan pendapat dirinya yang paling benar daripada menjalankan amaliyahnya dengan bukti yang lebih real dan nyata.

Saya mungkin termasuk orang yang tak suka menggantungkan hal yang kelihatan lahiriyahnya nyata, misal saya sendiri jika banyak orang menggantungkan ijazah untuk memperoleh derajat pangkat, kedudukan, limpahan materi, atau mendapat pekerjaan, maka saya lebih suka tidak memakai ijazah, dan jika banyak orang yang ingin mendapatkan ijazah palsu, agar mendapatkan kedudukan atau apa yang dicapainya, maka lebih suka tak punya ijazah, sehingga saya sampai sekarang tidak punya ijazah tanda kelulusan dari sekolah manapun, bukan saya tak percaya kalau ijazah itu akan mengantarkan seseorang mendapat kedudukan yang diinginkan, tapi saya lebih cenderung takut karena ketergantungan saya terhadap suatu benda akan mengikis rasa tawakal saya kepada Allah beralih pada suatu benda, itu bentuk ijazah sekalipun.

Apa yang menjadi acuan saya ini sebenarnya bukan tanpa dasar, tapi sebenarnya amat mendasar, saya berdasarkan Nabi SAW sendiri tidak kuliah di UI atau kuliah di manapun, beliau malahan dijuluki ummi artinya tidak bisa baca tulis, kata gampangnya beliau tidak jebolan universitas manapun, dan beliau dari sekian banyak orang di dunia ini mungkin beliau yang paling banyak pengikutnya, dan paling diikuti orang di manapun berada, lebih diikuti dari pengajar di manapun, juga saya pernah dulu di pesantren terheran heran dengan para ulama' dahulu seperti imam syafi'i, atau imam ghozali, atau ulama' yang lain yang mereka menulis kitab di jamannya dimana menulisnya masih manual belum ada mesin ketik atau komputer, tapi mereka bisa menulis kitab dengan dalin qur'an yang tepat, dan dalil hadist yang sesuai, bayangkan jika dihitung dari umur mereka maka rasanya tak mungkin kalau mereka bisa menulis kitab dengan begitu produktifnya, juga jauh dari kesalahan, kalau itu bukan dari ilham dari Allah, karena logika saya dan pemahaman saya itu maka saya lebih suka menjalankan amaliyah nyata dari sekedar teori, saya lebih suka melihat hasil nyata daripada hanya mengira ngira, khususnya dalam hal janji janji Allah di dalam Al-qur'an, dibuktikan dengan perbuatan yang nyata, yang kita petik hasilnya, kalau do'a itu diijabah, kalau pertolongan Alloh itu cepat, kalau ada ilmu laduni yang dianugerahkan Allah, kalau ada kebisaan yang dianugerahkan Allah, ada maunah pertolongan Allah.....

ada sesuatu yang di luar logika kita yang itu semua bisa dibuktikan dengan menjalankan amaliyah untuk membuktikannya.

No comments:

Post a Comment