Sunday 21 April 2013

Dalam perjalanan tarekat tasawuf praktek uzlah dilakukan dengan bersistematik dan pelatihan yang demikian dinamakan suluk. Orang yang menjalani suluk disebut murid atau salik. Si salik menghabiskan kebanyakan dari waktunya di dalam kamar khalwat dengan diawasi dan dibimbing oleh gurunya. Latihan bersuluk memisahkan salik dengan hijab yang paling besar bagi orang yang baru menjalani jalan spiritual yaitu pergaulan dengan orang banyak, mengikuti berbagai perkembangan dalam masyarakat yang sama sekali dia tak bisa berbuat apapun atau bagaimanapun, juga hanya duduk duduk sia sia di warung warung kopi, atau sekedar duduk di ujung gang, menghabiskan waktu dengan sia sia. Imannya belum cukup kuat dan mudah menerima rangsangan dari luar yang bisa menggelincirkannya untuk melakukan maksiat dan melalaikan hatinya dari mengingat Allah swt. Bila dia dipisahkan dari dunia luar jiwanya lebih aman dan tenteram mengadakan hubungan dengan Allah swt

Saat beruzlah, bersuluk atau berkhalwat, si murid bersungguh-sungguh di dalam bermujahadah melawan hawa nafsu dan menarik duniawi nafsu harus dipaksa memutuskan dari apa yang disenangi, kehangatan istri, canda tawa anak anak, sebagaimana Nabi ketika ke gua hiro' beliau tak membawa serta keluarganya, karena bukan pelesir atau rekreasi, maka seseorang yang ingin mendekatkan diri pada Allah dalam menjalankan laku uzlah atau kholwat menempa diri, supaya meninggalkan apa yang bisa menyibukkan urusan dunia, dengan sendirinya nafsu akan menolak, meninggalkan istri, baru seminggu pun akan timbul rasa kangen, berbagai bayangan istri melintas, berbagai bayangan anak berseliweran, juga kesenangan ketika kumpul dengan teman teman akan membuatnya rindu dan terjadi tarikan yang kuat, yang membentuk menjadi hijab, dan penghalang proses, seperti penghalang seseorang untuk melintasi jalan yang seharusnya dilintasi. maka sebaiknya dia memperbanyak shalat, puasa dan berzikir. Dia mengurangi tidur karena memperpanjang masa beribadat. Kegiatan beribadat dan pelepasan ikatan nafsu dan duniawi menjernihkan cermin hatinya. Hati yang suci bersih mengarah ke alam gaib yaitu Alam Malakut. Hati mampu menerima sinyal-sinyal dari alam ghaib. Sinyal yang diterimanya hanyalah sebentar tetapi cukup untuk menarik minatnya untuk mempelajari apa yang ditangkap oleh hatinya itu. Terjadilah perdebatan di antara pikirannya dengan dirinya sendiri. Pada saat yang sama dia menjadi penanya dan penjawab, murid dan pengajar. Perdebatan dengan diri sendiri itu dinamakan tafakur.

Pertanyaan timbul dalam pikirannya namun, pikirannya tidak dapat memberi jawaban. Ketika pikirannya meraba-raba mencari jawaban, dia mendapat bantuan dari hatinya yang sudah suci bersih. Hati yang berkeadan begini mengeluarkan nur yang menerangi akal, lalu jalan pikirannya terus menjadi terang. Sesuatu persoalan yang pada awalnya dianggap rumit dan membingungkan, tiba-tiba menjadi mudah dan terang. Dia mendapat jawaban yang memuaskan hatinya kepada persoalan yang sebelumnya mengacau pikiran dan jiwanya. Dia menjadi bertambah tertarik untuk bermeditasi menguraikan segala kekusutan yang tidak dapat dihuraikannya selama ini. Dia gemar merenung segala hal dan berdebat dengan dirinya, menghubungkannya dengan Tuhan sehingga dia mendapat jawaban yang memuaskan hatinya. Semakin dia bermeditasi semakin terbuka kegelapan yang menutupi pikirannya. Dia mulai memahami tentang hakikat, hubung-kait antara makhluk dengan Tuhan, rahasia Energi Ilahi dalam perjalanan alam dan sebagainya.

Sinyal-sinyal tauhid yang diterima oleh hatinya membuat mata hatinya melihat bekas-bekas tangan Allah dalam alam maya ini. Dia dapat melihat bahwa semuanya adalah ciptaan Allah, gubahan-Nya, lukisan-Nya dan peraturan-Nya. Hasil dari kegiatan bertafakur tentang Tuhan membawa dia bermakrifat kepada Allah melalui akalnya. Makrifat secara akal menjadi kemudi baginya untuk mencapai makrifat secara zauk.

Dalam studi ketuhanan akal harus tunduk mengakui kelemahannya. Akal harus sadar bahwa ia tidak mampu memahami hal gaib. Oleh itu akal harus meminta bantuan hati. Hati perlu dipoles supaya bercahaya. Dalam proses memoles hati itu akal tidak perlu banyak mengadakan argumen. Argumen akal memperlambat proses polishing hati ketika mengasingkan diri. Di dalam suasana isolasi nafsu menjadi lemah dan akal tidak lagi mengikut telunjuk nafsu. Barulah hati dapat mengeluarkan cahayanya. Cahaya hati menyuluh ke alam gaib. Bila alam gaib sudah terang benderang barulah akal mampu memahami hal ketuhanan yang tidak mampu diuraikannya sebelum itu.

No comments:

Post a Comment