Saturday 30 March 2013

Pengalaman spiritual, seperti penyaksian terhadap cahaya-cahaya harus diperjelas agar tidak timbul anggapan bahwa Tuhan adalah cahaya dengan warna tertentu. Yang dialami oleh Syeikh Ahmad Sirhindi dimuat di sini untuk dijadikan iktibar oleh orang yang terpengaruh dengan ajaran sesat yang menyembah cahaya. Syeikh Ahmad Sirhindi, keturunan Umar al-Khattab, dilahirkan di India. Beliau memiliki pengalaman yang luas dalam bidang tarekat tasawuf. Ia menceritakan pengalaman spiritual beliau.

Ketika Syekh memutuskan untuk mengikuti jalan kesufian ia telah pergi ke mursyid tarekat Naqsabandiah yang bernama Syeikh Muhammad al-Baqi. Syeikh Muhammad menjadi pembimbing Syekh melalui semua tingkat spiritual. Syeikh Muhammad mentalkinkan zikir Ilmul Zat, yaitu kalimat Allah kepada Syekh. Mursyid Naqsabandiah itu menjuruskan perhatian spiritual beliau kepada Syekh sampai Syekh mengalami gairah dan kelezatan yang amat sangat. Ia juga mengalami rasa kepiluan yang bersangatan sehingga ia menangis dengan keras. Setelah satu hari mengamalkan zikir Ismul Zat, Syekh dikuasai oleh rasa penyangkalan dan kelenyapan diri. Dalam suasana spiritual yang demikian beliau menyaksikan laut yang sangat luas. Ia menyaksikan segala sesuatu sebagai bayang-bayang dalam laut tersebut. Pengalaman demikian menjadi bertambah kuat, mendalam dan cemerlang sehingga memukau jiwa beliau. Ia mengalami suasana tersebut beberapa lama, kadang-kadang berlangsung sampai satu suku hari, kadang-kadang sampai separuh hari dan kadang-kadang sampai satu hari penuh. Syekh melaporkan pengalaman beliau itu kepada Syeikh Muhammad. Syeikh Muhammad menjelaskan bahwa apa yang telah dialami oleh Syekh itu merupakan sejenis pengalaman fana dan Syekh disarankan untuk menjaga penyingkapan itu.

Syekh melanjutkan latihannya. Dua hari kemudian ia mengalami fana yang lebih teratur. Ia melanjutkan latihan sebagaimana yang diajarkan oleh mursyidnya. Selanjutnya beliau mencapai fana dalam fana. Syekh melaporkan pengalaman beliau kepada Syeikh Muhammad. Mursyidnya itu menanyakan apakah Syekh menyaksikan seluruh alam ini sebagai satu keberadaan dan apakah ia menemukan keberadaan tersebut bersatu dengan Yang Satu. Syekh mengakui bahwa demikianlah yang ia alami. Mursyidnya menjelaskan bahwa fana dalam fana yang sebenarnya adalah walaupun disaksikan penyatuan tetapi seseorang itu masuk ke dalam suasana ketidak kesadaran sehingga fana itu sendiri tidak ada dalam kesadarannya. Syekh melanjutkan latihannya dan pada malam itu ia mengalami suasana fana seperti yang digambarkan oleh mursyidnya. Ia melaporkan pengalaman beliau kepada Syeikh Muhammad, termasuk pengalaman beliau sebelum memasuki fana. Ia melaporkan bahwa ia mendapat ilmu langsung dari Tuhan. Ia juga menemukan sifat-sifat yang menjadi miliknya adalah milik Tuhan. Setelah tingkat tersebut beliau maju lagi. Ia menyaksikan satu cahaya yang membungkus segala sesuatu. Cahaya tersebut berwarna hitam. Ia mengira apa yang ia saksikan itu adalah Tuhan. Mursyid beliau menjelaskan apa yang telah ia alami itu adalah menghadap ke Tuhan di balik hijab cahaya. Terlihat karena relevansi Zat Yang Maha Suci dengan alam materi, tetapi ia harus dinafikan. Setelah penolakan itu Syekh menemukan cahaya hitam yang membungkus segala sesuatu itu mulai mengecil hingga menjadi satu titik yang sangat halus. Mursyidnya menyuruhnya menafikan juga titik hitam yang halus itu supaya ia bisa sampai ke suasana keheranan. Syekh mematuhi instruksi mursyidnya itu dan titik hitam yang halus itu pun lenyap. Ia dikuasai oleh suasana keheranan. Dalam suasana penasaran itulah Syekh menemukan Tuhan hanya terlihat kepada Diri-Nya melalui Diri-Nya sendiri. Mursyidnya mengsahkan bahwa apa yang dialami oleh Syekh itu adalah suasana kehadiran yang dicari dalam tarekat Naqsabandiah. Ia dinamakan nisbat untuk tarekat Naqsabandiah. Ia juga disebut kehadiran Tuhan secara tidak rupa, bentuk, sifat dan lain-lain. Tahap inilah menjadi tujuan pencarian.

Maksud nisbat adalah hubungan dengan Tuhan yang tidak putus walau sedetik pun. Nisbat yang jarang terjadi ini dikaruniai kepada Syekh dalam dua bulan beberapa hari setelah ia ditalkinkan oleh Syeikh Muhammad. Setelah tahap nisbat satu lagi bidang fana dikaruniai kepada beliau. Ia meyakini bahwa fana pada tahap ini adalah fana hakiki. Dalam kefanaan yang demikian beliau menyaksikan hati beliau menjadi besar, menjadi tersangat besar sehingga seluruh alam termasuk al-Kursi dan Al-Arsy hanyalah seperti sebuah sawi dibandingkan dengan hatinya. Setelah ini ia menyaksikan dirinya dan segala sesuatu sebagai Tuhan. Kemudian ia melihat segala sesuatu dari alam ini menjadi satu dengan dirinya dan dirinya menjadi satu dengan segala sesuatu. Ia menyaksikan seluruh alam tersembunyi dalam sebuah partikel yang halus. Kemudian pengalaman beliau berubah pula. Ia menyaksikan partikel dirinya membesar sehingga beberapa alam bisa diisi di dalamnya. Ia menyaksikan dirinya atau satu partikel sebagai cahaya yang membesar, memasuki setiap partikel keberadaan sehingga semua rupa dan bentuk alam lenyap di dalamnya. Setelah itu ia menemukan dirinya atau satu partikel, menanggung alam atau menjadi pasak alam. Mursyidnya menyatakan suasana demikian adalah peringkat haqqul yaqin dalam tauhid, tingkat bersatu dalam kesatuan.

Setelah tingkat di atas, terjadi pula pengalaman yang berbeda dari pengalaman penyatuan. Sebelumnya Syekh menyaksikan segala sesuatu sebagai Tuhan tanpa ada perbedaan. Bila memasuki tingkat yang baru ini ia menemukan segala sesuatu di alam bukanlah bersatu dengan Tuhan, tetapi hanyalah bentuk khayalan. Penyatuan hanya terjadi dalam penyaksian mata hati semata. Ia masuk ke suasana keheranan yang menyeluruh. Pada saat itu ia teringat kata-kata Ibnu Arabi dalam kitab Fusus: "Jika kamu suka kamu bisa panggilnya yang diciptakan atau jika kamu suka kamu bisa panggilnya Tuhan dalam satu aspek dan makhluk dalam aspek yang lain. Kamu bisa juga mengatakan yang kamu tidak mampu membedakan keduanya ". Keterangan dari kitab Fusus itu menentramkan jiwa Syekh. Bila berkesempatan beliau melaporkan pengalaman beliau kepada Syeikh Muhammad. Mursyid itu memberitahu bahwa Syekh mengalami suasana kehadiran Tuhan tetapi secara tidak jelas. Ia diminta untuk melanjutkan latihan agar ada bisa dibedakan dari khayali. Syekh bertanya kepada mursyidnya mengenai keterangan Ibnu Arabi mengenai pengalaman yang telah dialaminya. Syeikh Muhammad menjelaskan bahwa Ibnu Arabi tidak menceritakan suasana yang sempurna yang berbeda dengan paham satu wujud, karena kebanyakan sufi tidak melewati tingkat menyaksikan tidak ada perbedaan di antara Tuhan dengan alam. Jika mereka melewati tingkat tersebut mereka akan menyaksikan perbedaan di antara Tuhan dengan makhluk.

Syekh melanjutkan latihannya. Dalam waktu dua hari beliau dikaruniai pengalaman yang memperlihatkan perbedaan di antara Wujud yang nyata dengan wujud khayali. Ia menemukan sifat, tindakan dan dampak yang muncul pada wujud bayangan (khayali) sebenarnya datang dari Tuhan. Beliau menyadari sepenuhnya bahwa sifat dan perbuatan tersebut sebenarnya bayangan atau khayalan sepenuhnya dan tidak yang maujud kecuali Tuhan. Mursyidnya menjelaskan bahwa ia sudah sampai ke tingkat mengalami suasana perbedaan setelah penyatuan, yaitu setelah menyaksikan Wujud Tuhan dan ada hamba bersatu sebagai satu wujud, ia melewati tingkat tersebut dan menyaksikan Wujud Tuhan sebenarnya berbeda dari wujud hamba. Tingkat ini merupakan tahap terakhir pencapaian manusia. Setelah ini seseorang akan memahami dan menyadari tujuan dia diberi bakat-bakat yang perlu. Inilah tingkat kesempurnaan.

Syeikh Ahmad Sirhindi meringkas perjalanan spiritual beliau. Bila ia dibawa ke tingkat kesadaran sesudah mabuk, baqa sesudah fana dan melihat ke setiap partikel keberadaan dirinya, ia tidak melihat sesuatu melainkan Allah dan ia temui 'cermin' untuk 'menanggung' Tuhan. Kemudian ia dibawa meninggalkan tingkat tersebut. Ia masuk ke dalam suasana keheranan. Bila ia kembali kepada dirinya ia temukan Tuhan dan segala yang maujud dalam dirinya. Kemudian ia dibawa lagi ke dalam suasana keheranan. Setelah itu kesadaran beliau dikembalikan dan ia menemukan Tuhan bukan satu dengan alam, tetapi tidak juga berpisah. Pada tingkat awal beliau menyaksikan Tuhan sebagai meliputi dan bergabung sesuatu, kemudian penyaksian yang demikian hilang sama sekali. Namun Tuhan tampak kepadanya dengan kondisi tersebut yang membuatnya merasa seakan-akan Dia. Selanjutnya beliau melihat alam tidak ada di samping Tuhan, padahal sebelumnya ia melihat alam di samping Tuhan. Ia kembali ke suasana keheranan. Kemudian kesadaran beliau kembali lagi. Ia kini memperoleh pengetahuan yang sangat berbeda dari pengetahuan beliau sebelumnya. Dalam pengetahuan beliau yang mutakhir ini diketahui hubungan Tuhan dengan alam berbeda dari apa yang ia mengerti dahulu. Hubungan Tuhan dengan alam tidak mampu diuraikan dan tidak dapat diketahui. Ia masuk pula ke dalam suasana keheranan. Ia merasakan kekerdilan diri. Bila ia sadar kembali ia mendapat pengetahuan bahwa Tuhan tidak ada hubungan dengan alam secara diketahui atau tidak diketahui. Ia diberi pengetahuan khusus tentang tidak ada hubungan antara Tuhan dengan makhluk meskipun ia menyaksikan keduanya. Pada tahap ini ia mendapat pengetahuan bahwa apa juga yang disaksikan, meskipun bersifat gaib, adalah bukan Tuhan. Ia adalah bentuk simbolis atau misal tentang hubungan Tuhan dan ciptaan-Nya yang melampaui apa juga pengetahuan dan penyaksian. Ia menemukan di akhir perjalanan beliau bahwa masih ada tingkat yang lebih tinggi dari tingkat menyaksikan satu wujud. Penyaksian terhadap satu wujud merupakan satu pengalaman yang ditemukan dalam perjalanan spiritual. Setelah melewati tingkat tersebut seseorang akan menjadi sesuai dengan al-Quran dan al-Hadis secara sedikit demi sedikit. Di akhir perjalanannya efek penyaksian satu wujud hilang sama sekali dan dia menjadi sesuai sepenuhnya dengan al-Quran dan as-Sunnah.

Dari pengalaman Syeikh Ahmad Sirhindi dapatlah diyakini bahwa bimbingan guru yang arif sangat diperlukan untuk orang yang mau memasuki perjalanan spiritual. Tanpa bimbingan guru yang arif sulit untuk seseorang melewati hijab-hijab yang ditemukan di sepanjang perjalanan. Orang yang berhenti di tengah jalan menemukan buah yang belum masak. Mereka merasakan buah yang belum masak itu sudah cukup enak. Mereka tidak mengetahui bahwa buah yang sudah masak memungkinkan rasanya.

Beberapa orang sufi mungkin mengalami hal yang sama tetapi gagasan yang timbul dari pengalaman tersebut mungkin berbeda. Ibnu Arabi mengalami suasana satu wujud berpegang pada paham wahdatul wujud. Syeikh Ahmad Sirhindi juga mengalami suasana yang demikian tetapi ia berpegang pada paham wahdatul syuhud. Syekh telah melewati tingkat menyaksikan satu wujud dan beliau kembali ke jalan kenabian. Banyak juga sufi yang tidak terlepas dari dampak menyaksikan satu wujud, lalu mereka bermukim di makam yang berfahamkan wahdatul wujud. Sufi tersebut ditarik ke pemahaman demikian karena kefanaan dan mabuk. Orang yang dalam kesadaran tidak patut mengikuti paham yang demikian. Perlulah diketahui bahwa apa yang dialami dalam alam spiritual tidak semestinya kebenaran yang sejati. Alam demikian lebih merupakan Alam Misal yang menceritakan sesuatu tentang Kebenaran Hakiki yang melampaui misal. Misal dalam alam spiritual bisa dialami secara penyaksian atau zauk (rasa). Ketika melalui daerah-daerah Latifah Rabbaniah seseorang bisa menyaksikan cahaya-cahaya dan mengalami zauk Hakikat-hakikat Kenabian. Cahaya yang disaksikan dalam daerah latifah bisa memikat seseorang dan hakikat kenabian bisa membalikkan pandangan seseorang. Ada orang yang keliru dengan cahaya, mengira Tuhan sebagai cahaya cuaca subuh. Ada orang yang keliru dengan hakikat kenabian, mengira dirinya menyatu dengan nabi-nabi atau terus mendakwakan dirinya sebagai nabi Ada sebagian dari mereka yang mencoba untuk mengorek 'Rahasia'. Mereka menyatukan diri mereka dengan Nabi Adam as dan Nabi Muhammad saw Bagi mereka tidak ada bedanya diri mereka dengan Adam dan Muhammad. Pemahaman mereka sudah jauh menyimpang dari kebenaran. Perjalanan jasad dengan perjalanan roh lebih kurang saja. Manusia dari aspek jasad datang dari jasad yang satu yaitu jasad Adam. Meskipun menerapkan jasad yang satu tetapi sekalian jasad-jasad merdeka dari jasad yang satu itu dan juga setiap jasad tidak terikat dengan jasad yang lain. Setelah jasad Adam mengalami mati, jasad-jasad lain tidak ikut mati bersamanya. Jika jasad Saleh dipotong, jasad Yusuf tidak ikut terpotong. Setiap jasad bebas dengan perjalanannya, menanggung bahagia atau celakanya sendiri. Begitu juga dengan perjalanan rohani atau roh. Jika roh Nabi Muhammad saw bahagia, roh Abu Jahal tidak ikut bahagia. Jika roh dan jasad Ibrahim dimasukkan ke dalam surga, roh dan jasad Namrud tidak ikut masuk surga. Sekalipun sekalian roh-roh bersumberkan roh yang satu tetapi roh individu bebas dengan perjalanannya sebagaimana jasad bebas melakukannya. Paham menyatukan jasad atau roh seseorang dengan jasad atau roh orang lain adalah pemahaman yang keliru. Orang yang mengalami jazbah mungkin terbalik pandangannya dan mengalami suasana persatuan, tetapi penyatuan tersebut hanya terjadi dalam alam perasaannya, bukan itulah yang sebenarnya terjadi. Tanpa bimbingan guru yang arif orang tersebut akan terus berada di dalam gambaran imajinasinya atau di dalam alam bayangan.

No comments:

Post a Comment