Monday, 25 February 2013

Sama sekali tak bisa di ingkari, bahwa ketika Nabi SAW, menjelaskan jika manusia itu baik buruknya tergantung pada segumpal daging yang di dalam tubuhnya yang bernama hati, jika hati itu buruk, maka buruk juga perangai dan akhlaq manusia, jika hati itu baik maka bagus pula perangai dan akhlaq manusia,

ketika dunia ini betapa begitu sulitnya menemukan moral yang baik, dan akhlaq yang terpuji, di mana mana ada kejahatan, di lapisan paling atas pemerintahan, dan lapisan paling bawah preman jalanan, kejahatan seperti wabah yang menggerogoti moral suatu bangsa, kerusuhan di mana-mana, tawuran sudah menjadi tradisi, hal sepele bisa menjadi perang antar desa, dan itu tidak bisa tidak menunjukkan kemerosotan moral masyarakat, juga menunjukkan merosotnya kadar kebaikan hati, hati ntelah di cuci dengan darah yang di peras dari makanan haram, hati itu mungkin telah menjadi sepekat aspal, dan sekeras besi baja, bahkan sepanas leburan tir, dalam situasi yang seperti itu, manusia yang menggunakan rasio akalnya, akan mencari sumber pembenahan diri, dan sumber pembenahan diri itu bisa saja lewat macam bentuk, ah ini sepertinya harus ditambah hukumnya, ah ini anak sekolah harus dididik dengan keras ala militer, ah ini juga tak sedikit yang hanya mencari kambing hitam dari kemerosotan moral bangsa, tanpa sedikitpun tergerak untuk membenahi, setidaknya dari diri sendiri,

orang yang mengakal dengan rasio perhitungan sempurna, maka akan mengikuti saran dari nabi SAW, yaitu memperbaki hati bangsa dari hati kita sendiri, lalu hati keluarga kita, lalu hati masyarakat kita, sebagaimna fitrah manusia yang memasuki jalan kesufian dan melakukan berbagai latihan spiritual didorong oleh tujuan yang suci yaitu untuk menjadi hamba Allah sebaik mungkin .. Mereka telah terlebih dahulu mengikuti jalan yang dilalui oleh masyarakat. Mereka telah bersungguh-sungguh menuntut ilmu dan beramal menurut peraturan syariat. Kehidupan harian dijadikan tarekat buat bermujahadah pada jalan Allah, demi memperoleh ridha-Nya. Dia kuat melakukan ibadah dalam aspek hubungan dengan Tuhan dan juga praktek dalam aspek hubungan sesama manusia. Meskipun mereka sudah menjaga aturan syariat sekadar kemampuan mereka, namun hati mereka masih merasakan kekosongan. Mereka sudah bertemu dengan berbagai guru namun, banyak persoalan yang timbul dalam pikiran mereka tidak dapat dijelaskan secara memuaskan hati mereka. Mereka sampai ke tingkat menemukan sesuatu yang mereka sendiri tidak tahu apa yang dicari. Mereka diganggu oleh persoalan-persoalan yang mereka tidak tahu di mana akan mendapatkan jawaban. Mereka merasakan kekosongan jauh di dalam lubuk hati, seolah menantikan sesuatu untuk memenuhinya. Kekuatan akal mereka sudah sampai ke perbatasan yang tidak dapat ditembus lagi. Jiwa mereka menjadi tidak tenteram dan pikiran mereka keliru. Mereka mencoba mencari kedamaian melalui praktek tetapi tidak berhasil. Mereka mencoba mendapatkan kedamaian melalui orang-orang alim yang mereka kenali, juga tidak berhasil. Orang alim merupakan modal terakhir mereka. Bila modal tersebut gagal memberikan hasil yang mereka harapkan, mereka sampai ke titik transisi. Jiwa mereka mudah terangsang saat melihat kesyirikan, kemunafikan, kefasikan dan kemunkaran yang terjadi di sekeliling mereka. Mereka melihat kerusakan terjadi tetapi mereka tidak mampu menahannya. Ketika mereka memandang ke masyarakat mereka melihat kepada kemunkaran dan kerusakan dan ketika mereka memandang kepada diri sendiri mereka melihat ketidak-upayaan mereka mencegah kerusakan yang terjadi. Mereka melihat kerusakan yang terjadi pada masyarakat seperti melihat ombak besar yang menggulung diri mereka. Dalam kondisi yang demikian mereka melihat jalan keselamatan buat mereka adalah memisahkan diri, lalu mereka masuk ke dalam lembah suluk.

No comments:

Post a Comment