Nabi Muhammad saw, mahaguru yang paling arif, pembimbing yang paling bijaksana, telah mengasuh satu kelompok Muslim untuk memikul tugas berat membimbing umat manusia. Para pembimbing yang diasuh oleh Rasulullah saw merupakan kelompok pembimbing yang paling baik di antara yang melakukan tugas tersebut. Setelah Rasulullah wafat, matahari yang mengeluarkan cahaya petunjuk mulai condong, awan mendung mulai berarak, muncullah bayang menghijab perjalanan. Semakin lama Rasulullah saw meninggalkan dunia ini semakin kurang dampak dan pengaruh yang mampu dihasilkan oleh seseorang pembimbing. Orang telah mengalami kesulitan di dalam mendapatkan bimbingan menuju ke Yang Haq. Sifat-sifat siddik, amanah, tabligh dan fatanah yang ada dengan orang-orang yang seharusnya menjadi pembimbing sudah sangat berkurang. Ilmu yang mereka sampai tidak lagi mampu membuka pintu akal dan pintu hati. Dalam kondisi yang demikian orang yang benar-benar menemukan Yang Haq hilang keyakinan kepada mereka yang mengemban tugas sebagai pembimbing di dalam masyarakat. Pencari kebenaran, setelah gagal memperoleh yang di cari melalui anggota ilmu, telah kembali ke fitrahnya sendiri. Orang yang kembali kepada fitrahnya melihat satu-satunya jalan yang memberi harapan kepadanya adalah memulai perjalanan seperti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw ketika dunia diselubungi oleh kegelapan akidah dan akhlak dahulu. Orang ini memilih jalan sendirian, berkhalwat di tempat yang tidak dikunjungi oleh manusia. Meskipun lari dari manusia tetapi orang fitrah itu membawa pusaka yang ditinggalkan oleh Rasulullah saw yaitu al-Quran dan as-Sunnah. Di dalam suasana sendirian itulah dia melakukan praktek yang diajarkan oleh al-Quran dan as-Sunnah berhubungan dengan bidang perhubungan hamba dengan Tuhan. Dalam suasana yang demikian, tidak ada hubungan sesama manusia. Aspek ini ditinggalkan.
Jalan fitrah yang diterokai oleh kelompok manusia yang memisahkan diri itu menjadi dasar jalan yang kemudian hari dikenal sebagai jalan kesufian. Pendiri aliran sufi adalah manusia fitrah yang hidup di dalam masyarakat yang penuh dengan kegelapan, kebingungan dan ketidak-pastian. Mereka lari dari kegelapan, kebingungan dan ketidak-pastian itu sebagaimana Rasulullah lari dari suasana jahiliyah dahulu. Manusia fitrah yang tinggal sendirian itu melakukan praktek yang diajarkan oleh Rasul, shalat, berpuasa, berzikir dan lain-lain. Amalan mereka tidak bertentangan dengan syariat, cuma bidang syariat yang ada hubungan dengan masyarakat tidak dilakukan. Praktek cara yang demikian kemudian harinya disebut suluk.
Manusia fitrah yang hidup di dalam masyarakat yang penuh dengan kegelapan jahiliyah akan merasakan tekanan dan kegelisahan pada jiwanya. Jalan keluar bagi orang yang seperti ini adalah mengasingkan diri di tempat yang jauh dari orang banyak dan menghabiskan waktunya dengan menyembah Allah Sebagian dari kaum yang memilih jalan mengasingkan diri akan terus menerus berada di dalam kondisi demikian sementara sebagiannya pula kembali ke masyarakat setelah rohani mereka mencapai kematangan. Orang yang memasuki jalan sendirian terus menerus berada pada jalan kesufian dan yang kembali ke masyarakat adalah orang sufi yang berpindah dari jalan kesufian ke jalan kenabian. Orang yang kembali ke jalan kenabian lebih sempurna perjalanannya dan dari golongan inilah muncul kader yang membimbing umat manusia ke jalan Allah Kebanyakan sufi yang telah matang kembali ke jalan kenabian. Abdul Qadir Jilani, Ibrahim Adham, Junaid, Hasan Basri dan banyak lagi merupakan sufi yang kembali ke jalan kenabian setelah menyelesaikan jalan kesufian. Mereka adalah ahli sufi yang mengikuti jalan kenabian. Sufi yang kembali ke jalan kenabian ini memiliki kepribadian yang kuat dan percampuran dengan masyarakat tidak lagi memberi tekanan kepada jiwa mereka, bahkan mereka mampu membimbing orang lain untuk berjalan ke Yang Haq. Bagi orang yang seperti ini petualangan di jalan kesufian merupakan bagian dari latihan memantapkan kerohaniannya untuk melaksanakan tugas sebagai khalifah Allah di bumi. Kelompok tersebut adalah orang yang menjadi pilihan Allah dalam menegakkan syariat-Nya di atas muka bumi dan memimpin umat manusia ke jalan lurus yang sebenarnya.
Tingkat kewalian pada jalan kesufian berbeda dengan tingkat kewalian pada jalan kenabian. Kewalian sufi masuk ke suasana meninggalkan semua makhluk dan membenamkan memori secara terus menerus kepada Allah kewalian sufi bergerak menghapus kehendak diri sendiri dan sifat-sifat kemanusiaan. Sebutan dan ingatan yang terus menerus kepada Allah membawa sufi fana diri atau melupakan diri sendiri. Di dalam fana sufi memperoleh jazbah yaitu pengalaman yang berkaitan dengan suasana ketuhanan. Setelah melewati tingkat fana sufi sampai ke tingkat baqa atau kekal bersama Allah Di dalam menuju baqa, pada tingkat fana yang paling tinggi sufi hilang kesadaran diri sepenuhnya. Wujudnya hilang dari pandangan dan perasaannya. Hanya Wujud Allah saja yang menguasainya. Pada tingkat tersebut sufi mengalami apa yang diistilahkan sebagai wahdatul wujud, di mana ada hamba dengan Wujud Tuhan tidak lagi berbeda pada alam perasaan sufi. Suasana demikian diperoleh akibat didorong oleh rasa kecintaan kepada Allah secara asyik mahsyuk yang bersangatan dan pada waktu yang sama kesadaran terhadap diri sendiri hilang. Pengalaman wahdatul wujud menimbulkan apa yang diistilahkan sebagai mabuk. Sufi hanya melihat ke Wujud Tuhan, tidak lagi pada wujud dirinya dan sekalian ada yang selain Tuhan. Bila keberadaan diri sendiri hilang dari alam perasaan sufi sering mengucapkan kata yang diistilahkan sebagai latah seperti pengakuan bahwa dirinya adalah Tuhan atau Tuhan yang menjadi bakat dirinya.
Kebanyakan sufi sangat mementingkan pengalaman bersatu dengan Tuhan. Mereka menjalani latihan yang berat-berat untuk menghilangkan kesadaran terhadap diri sendiri, yaitu mencapai fana dan dikuasai oleh kecintaan kepada Allah yang mengasyikkan. Untuk memperoleh yang demikian sufi harus menghapus semua keinginannya, sifatnya dan identitas dirinya secara menyeluruh. Pekerjaan yang demikian sangat berat, perlu dilakukan latihan menindas jasad. Latihan yang berbahaya dan luar biasa terkenal di kalangan para sufi di dalam proses meleburkan kedirian mereka. Latihan yang demikian membawa sufi melupakan dunia dan akhirat.
Orang sufi percaya rohnya adalah Roh yang dari Allah, yang suci bersih. Roh yang suci itu dipenjarakan oleh jasad. Sufi merasa berkewajiban membebaskan rohnya dari penjara jasad dan mencapai tujuan yaitu bersatu dengan Tuhan. Dengan demikian sufi mengistiharkan perang terhadap jasad dengan cara menindas kebutuhan jasad seperti makan, minum, tidur, tutur-kata, pergaulan dan sebagainya. Selagi rohaninya tidak bebas dari pengaruh jasad sufi tidak akan merasa aman. Sikap penindasan terhadap jasad ini menimbulkan kegelisahan, kehangatan dan kemarahan di dalam roh haiwaninya yang menghubungkan rohnya dengan jasad. Tindak-kritik dari roh hewani itu sering menimbulkan sikap kasar dan agressif pada orang sufi, terutama untuk mereka yang berada pada tingkat awal melatihkan diri. Setelah dapat menguasai tingkat roh hewani sufi akan bertahap menjadi tenang dan kesadaran pancainderanya mengecil sampai hilang terus. Dia mencapai jarak dengan Tuhan dan seterusnya memasuki suasana bersatu dengan-Nya. Barulah sufi merasakan kerihatan dari jihadnya terhadap jasad.
Jalan yang ditempuh itu menyebabkan sufi gemar kepada yang indah-indah, mendengar suara yang merdu, lagu-lagu kasih, puisi dan cerita-cerita percintaan. Sebagian dari para sufi terbawa ke berzikir secara menyanyi dan menari sambil diiringi oleh musik. Kondisi yang demikian menambah rasa kecintaan mereka kepada Allah dan mengobati kerinduan mereka kepada-Nya. Kerinduan kepada Tuhan sangat menekan jiwa dan menimbulkan kegelisahan yang amat sangat. Aktivitas yang mengasyikkan dapat meredakan tekanan dan kegelisahan tersebut. Perjalanan yang demikian menyebabkan timbul sikap kasar dan tidak terkendali di kalangan sebagian sufi, selama kecintaan kepada Tuhan belum mereka kuasai dan kerinduan kepada-Nya belum terobati. Kerinduan dan keasyikan menyebabkan sufi lupa bukan saja kepada diri dan makhluk, bahkan sering juga terjadi peraturan syariat dan etika moral tidak diambil berat oleh sebagian mereka. Sebagian sufi masih melakukan peraturan syariat tetapi semata-mata karena menghormati syariat Tuhan bukan karena menghayati peraturan tersebut.
Para sufi yang bersungguh-sungguh dengan latihan spiritual mereka, setelah memperoleh keasyikan, akan masuk ke dalam suasana kebatinan di mana mereka menyaksikan rupa, bentuk, cahaya dan warna. Pengalaman yang demikian banyak terjadi pada awal perjalanan sufi. Penyaksian yang demikian sangat menggembirakan mereka, menambahkan keyakinan dan semangat untuk maju terus. Oleh karena penyaksian tersebut terjadi di dalam suasana kebatinan yang gaib, sufi mudah menghubungkan yang disaksikan itu dengan Allah Timbullah konsep ketuhanan yang tidak jelas dan menyesatkan.
Penghujung jalan para asyikin adalah bersatu dengan Tuhan. Sufi mengalami kefanaan, dirinya hilang dia berkamil dengan Tuhan. Dia dikuasai oleh suasana ketuhanan. Pada tingkat ini sering terjadi ucapan latah seperti: "Ana al-Haq!" Ucapan latah yang menempatkan ketuhanan pada diri itu terjadi pada sufi ketika kesadaran terhadap diri sendiri lenyap. Suasana yang demikian diistilahkan sebagai mabuk. Dalam suasana yang demikian hubungan hati orang sufi dengan Tuhan sangat erat. Dia telah melepaskan segalanya demi Tuhannya. Dia telah membuang makhluk dan dirinya demi kecintaannya kepada Tuhan. Gelombang kefanaan yang melanda hati sufi itu mengubah suasana kebatinannya menyebabkan sering muncul keajaiban dari dirinya, doanya cepat dikabulkan, kata menjadi kenyataan, dia bisa melakukan hal yang luar biasa seperti berjalan di atas air atau masuk ke dalam api. Hasilnya bertambah teguhlah keyakinannya terhadap apa yang dipegangnya.
Hal luar biasa yang muncul dari sufi yang di dalam zauk itu menyebabkan orang menjadi percaya kepada apa yang sufi itu iktikadkan. Sufi yang di dalam kefanaan diri menyaksikan satu wujud lalu mengatakan tentang. Muncullah paham wahdatul wujud. Orang yang melihat keajaiban pada sufi itu dengan mudah menerima paham wahdatul wujud yang dipegang oleh sufi itu. Sufi membangun paham wahdatul wujud melalui pengalaman kerohaniannya, melalui penyaksian mata hatinya. Dia mengalami sendiri suasana semua ada hilang dan hanya satu ada saja yang menyata. Orang pula berpegang pada paham wahdatul wujud secara ikut-ikutan, tanpa mengalaminya dan tanpa benar-benar mengerti tentang. Pegangan sufi dibentuk melalui pengalaman rasa sementara orang lain melalui khayalan dan asumsi. Sufi yang mengatakan atau melakukan sesuatu yang melanggar syariat, bertentangan dengan kata al-Qur'an dan perkataan Rasulullah saw ketika dia dikuasai oleh hal atau mabuk, bisa dimaafkan karena dia melakukannya tanpa kesadaran. Orang lain yang di dalam kesadaran biasa yang mengikuti orang sufi secara meniru-niru perlu diberi penjelasan bahwa perbuatan mereka adalah sesat dan kufur.
Pengalaman wahdatul wujud adalah umpama bayangan yang muncul akibat awan mendung menutupi sinar matahari. Setelah awan berlalu bayangan pun hilang. Orang sufi yang berjalan terus akan melewati tingkat bayangan tersebut. Paham wahdatul wujud ditinggalkan di belakang dan dia masuk ke jalan kenabian, berpegang teguh kepada al-Quran dan as-Sunnah. Kebenaran yang sejati terletak dalam al-Quran dan as-Sunnah bukan pada zauk, jazbah dan mabuk. Dengan demikian orang sufi yang belum melewati suasana mabuk dilarang keras bercampur gaul dengan masyarakat dan menyampaikan gagasan yang terbentuk ketika mabuk.
No comments:
Post a Comment