Wednesday, 27 February 2013

Kaum sufi yang berfahaman syariat hanyalah kerangka kosong dan hakikat yaitu kebenaran sejati berada diluar syariat, mendapat gagasan itu melalui beberapa sebab. Sebagian dari mereka menjalani tarekat sufi hanya sampai ke tingkat bersatu dengan Tuhan. Mereka tidak melanjutkan perjalanan mereka melewati tahap tersebut. Ada pula yang mempelajari doktrin wahdatul wujud terlebih dahulu dan memulai perjalanan dengan membawa kepercayaan doktrin tersebut. Segala usaha ditujukan untuk ekspresi paham dan kepercayaan wahdatul wujud. Ketika mereka memulai perjalanan di atas landasan wahdatul wujud maka yang mereka temui dan alami adalah wahdatul wujud. Golongan ini juga berhenti di tingkat bersatu dengan Tuhan dan meyakini bahwa yang ada hanya satu wujud yaitu Wujud Tuhan. Mereka membentuk keyakinan bahwa wahdatul wujud adalah kebenaran yang paling tinggi sehingga timbul anggapan bahwa wahdatul wujud adalah pegangan wali-wali. Mengaitkan wahdatul wujud dengan kewalian menambahkan keteguhan kepercayaan kepada doktrin tersebut. Mereka memandang hakikat agama melalui suluhan yang berdasarkan kepercayaan kepada satu wujud. Mereka memperkenalkan tauhid secara doktrin wahdatul wujud dan dengan lantang mengatakan syariat tidak memperkenalkan tauhid yang sebenarnya. Dari kalangan mereka ada yang mengatakan segala hal dalam syariat adalah syirik, hanya pegangan wahdatul wujud yang bebas dari syirik. Begitulah hebatnya pengaruh pengalaman spiritual dalam membentuk keyakinan tentang kebenaran agama dan tauhid.

Selain alasan di atas sikap dan pandangan pribadi seseorang sufi itu sendiri memisahkan syariat dari hakikat. Sufi jenis ini berpendirian hidup dalam pengasingan lebih baik daripada bercampur dengan orang banyak. Mereka berpendapat hanya sedikit saja hakikat yang bisa ditemukan dalam syariat. Mereka berpendapat bidang hakikat terbuka dalam fana, zauk dan mabuk ketuhanan. Oleh karena itu mereka lebih suka menghabiskan waktu dengan berkhalwat dan beribadat sendirian tanpa mengambil bagian dalam bidang dakwah, berjihad dan melayani masyarakat.

Kelompok yang dipimpin ke penghabisan jalan menemukan bahwa syariatlah yang menunjukkan apakah kehidupan agama yang sebenarnya. Syariat bukan saja mengajarkan peraturan zahir yang diistilahkan sebagai syariat zahir, malah syariat juga membawa hal-hal spiritual yang meliputi iman, tauhid, mahabbah, syukur, sabar, ikhlas, takwa, ihsan dan lain-lain. Bidang kerohanian seperti pemikiran, perasaan, daya rasa, niat, keinginan dan lain-lain juga berada dalam syariat. Syariat yang mencakup hal zahir dan batin adalah Agama Islam yang lengkap dan sempurna. Ia mengajarkan kehidupan beriman, bertakwa dan ihsan yang sempurna. Apa juga aliran tarekat harus menjurus ke memperteguh keyakinan dan pegangan pada apa yang dikatakan oleh syariat bukan mencari kebenaran yang lain dari kebenaran syariat.
Sufi kaum ke tiga memahamkan syariat sebagai kombinasi kulit dan isi, tubuh dan jiwa. Mereka berpendapat memegang syariat lahir tanpa mencapai syariat batin adalah kurang bermakna, sementara mengambil syariat batin dengan membuang zhahirnya adalah tidak sempurna. Mereka berfahaman bahwa seseorang bisa mengambil syariat lahir meskipun batinnya tidak menyolok. Bagi mereka orang yang berfokus pada syariat lahir dan mengamalkannya sudah bisa menyelamatkannya di akhirat kelak. Golongan yang mengambil syariat lahir saja adalah mereka yang berkedudukan sebagai ulama zahir dan orang Islam publik. Mengambil syariat lahir saja tanpa batinnya dibolehkan tetapi mengambil syariat batin tanpa zahirnya adalah tanda mungkin. Kesimpulan golongan ini adalah keunggulan zahir dan batin ditentukan oleh hubungan mereka dengan syariah dan semua kebenaran yang ada dalam paham agama yang dikenal sebagai Ahli Sunah wal Jamaah. Seribu pembukaan dan penyaksian dalam alam kebatinan tidak dapat menandingi paham agama yaitu Tuhan tidak menyamai sesuatu apa pun. Kelompok tersebut tidak cenderung dengan pengalaman spiritual yang bertentangan dengan kebenaran syariat meskipun sedikit. Bagi mereka pembukaan demikian hanyalah tes yang menyeret mereka ke tempat siksaan secara perlahan-lahan. Mereka adalah kaum yang mendapat petunjuk dari Tuhan dan paling layak diikuti. Mereka sebenarnya adalah ulama yang berhasil, diberi bimbingan dan petunjuk yang benar oleh Tuhan. Tuhan membantu mereka menyatakan kebenaran syariat dan Tuhan memberi mereka hadiah karena mendukung peraturan syariat.

Sufi kaum ke tiga berbeda dengan kaum yang hanya mementingkan batin dan tidak sedikit pun mematuhi peraturan syariat. Kelompok yang memisahkan diri dengan syariat mengira kebenaran yang dicari tidak ada dalam syariat. Mereka menyangka syariat hanyalah tubuh yang tanpa nyawa. Mereka berpegang kepada kebenaran yang muncul dari bayangan dan mereka tergelincir dari arah yang menuju kepada kebenaran yang sejati. Akibatnya kewalian mereka hanyalah dalam perbatasan kewalian bayangan dan jarak mereka dengan Tuhan tidak melebihi tingkat Sifat. Kewalian golongan ke tiga yang menggabungkan zahir dan batin syariat menemukan kebenaran sejati dan asli. Mereka mendapat petunjuk dan menemukan jalan ke Zat Yang Hakiki, yang tidak sesuatu menyerupai-Nya. Mereka berhasil melewati persetujuan tingkat rendah. Mereka maju sampai ke ujung jalan dan akibatnya mereka memperoleh kewalian cara kenabian. Tahap tersebut dicapai dengan cara tidak sedikit pun meragukan syariat dan tidak meninggalkan tuntutan syariat.
Ada pula kaum sufi yang hanya mementingkan hakikat, tetapi hakikat yang mereka maksudkan bukanlah syariat batin atau hakikat kepada syariat. Mereka memiliki definisi sendiri tentang hakikat dan syariat. Bagi mereka syariat hanyalah kulit semata-mata tanpa isi, tubuh tanpa nyawa. Isi atau nyawa tidak tergantung pada kulit atau tubuh. Mereka maksudkan hakikat tidak tergantung pada syariat. Sufi jenis ini membangun pemahaman berdasarkan pengalaman mereka semata-mata. Meskipun RRT berpaham demikian mereka menghormati syariat karena datangnya dari Allah dan patut dimuliakan. Mereka tidak setuju dengan perbuatan melemparkan syariat karena tindakan yang demikian menunjukkan tidak setuju dengan apa yang Tuhan lakukan. Sufi jenis ini adalah orang yang telah mengorbankan segalanya karena cinta mereka kepada Allah Keasyikan dan mabuk yang menguasai mereka menyebabkan mereka memasuki suasana pengalaman spiritual yang diistilahkan sebagai tingkat bayang, sehingga timbul pemahaman yang berbeda dari syariat. Namun sebagai orang yang mencintai Allah mereka muliakan syariat yang diturunkan-Nya. Golongan inilah yang berhak dimaafkan bukan dikutuk tetapi pemahaman mereka tidak bisa diikuti dan dipegang. Kata mereka yang melanggar syariat harus dianggap sebagai ucapan latah orang yang di dalam mabuk.
Peraturan syariat hukumnya sama untuk semua orang Islam. Orang awam dan ahli makrifat yang sempurna terkena hukum dan peraturan yang sama, tidak ada kelonggaran untuk satu pihak dan penekanan pada pihak yang lain. Sufi yang masih baru atau yang keliru dan orang jahil yang bertaklid melulu mencoba membuang dasar syariat dengan mengatakan peraturan syariat terpakai kepada orang yang belum sampai ke makam makrifat. Mereka beranggapan sufi hanya perlu mendapatkan makrifat. Mereka beranggapan tujuan mematuhi syariat adalah untuk memperoleh makrifat. Kapan makrifat sudah diperoleh peraturan syariat dengan sendirinya gugur. Kelompok ini berpendapat anggota makrifat yang melakukan ibadah hanyalah untuk memberi contoh kepada masyarakat dan promosi kepada mereka untuk menuju ke makrifat. Mereka mengatakan syariat hanya perlu dilakukan oleh orang yang masih baru dalam perjalanan spiritual sedangkan untuk mereka sendiri yang sudah mencapai makrifat tidak membutuhkan syariat lagi. Inilah pemahaman yang kufur dan sesat
Ada sekelompok sufi beranggapan bahwa syariat hanyalah kulit dan isinya adalah hakikat. Anggapan yang demikian menunjukkan bahwa sufi tersebut tidak memperoleh pengalaman spiritual yang benar. Sufi yang masuk ke pengalaman spiritual yang benar tidak pernah mengeluarkan pernyataan yang demikian. Sufi yang benar tidak membedakan syariat dengan hakikat. Sebenarnya syariat terdiri dari kulit dan isi. Kulitnya syariat lahir dan isinya syariat batin. Penggunaan istilah 'hakikat' adalah untuk merujukkan kepada satu bagian syariat batin yang mendalam. Meskipun digunakan istilah hakikat ia tetap juga bagian syariat. Kebenaran yang dinyatakan dengan jelas dan juga secara simbolik juga termasuk dalam bidang syariat. Ulama lahir berkonsentrasi kepada syariat lahir. Ulama yang lebih matang berkonsentrasi kepada syariat lahir dan syariat batin sekaligus, tidak terpisahkan.
Orang yang tidak mengikuti jalan kesufian biasanya memperoleh kebenaran secara ilmiah semata dan mereka juga membutuhkan mujahadah dalam mengerjakan peraturan syariat. Kebenaran yang diketahui secara ilmiah itu dapat disaksikan oleh orang yang mengikuti tarekat sufi. Apa yang diketahui secara ilmiah dialami sendiri oleh orang sufi secara spiritual. Pekerjaan syariat yang sulit dilakukan oleh orang biasa menjadi mudah bagi orang yang dilatih secara kesufian. Karena itu ketika orang sufi sampai ke makam penetapan, keyakinannya sudah sangat teguh. Tanda orang sufi sampai ke haqqul yaqin adalah saat kebenaran yang dibukakan kepadanya seluruhnya sesuai dengan kebenaran al-Quran dan as-Sunnah. Jika ada perbedaan meskipun sedikit itu tandanya sufi itu belum sampai kepada Kebenaran Hakiki. Sufi tersebut belum terlepas sepenuhnya dari efek mabuk. Setelah dia melewati efek mabuk sepenuhnya dia akan menjadi khalifah pada dirinya sendiri. Dia mampu mengelola urusan dirinya dan menguasai penuh pangkalannya. Bertentangan dengan syariat adalah tanda nyata yang seseorang sufi masih dalam pencarian dan belum menemukan Kebenaran Hakiki.
Al-Quran juga mengimbau agar terjadi keras menghadapi kekafiran dan kemunafikan.

Wahai Nabi! Berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik, dan bertindak keras terhadap mereka. Dan (sebenarnya) tempat mereka adalah neraka jahanam, dan itulah seburuk-buruk tempat kembali. (Ayat 9: Surah at-Tahrim)
Ketaatan kepada syariat lahir dan syariat batin dibutuhkan untuk menghindari dari terjatuh ke dalam kekufuran dan kemunafikan. Tidak seharusnya dipisahkan kedua aspek syariat itu. Latihan kesufian harus ditujukan ke arah mempermudah melakukan seperti yang diajarkan oleh syariat. Tujuan utama latihan kesufian adalah untuk melahirkan keikhlasan secara spontan. Tiga bagian penting di dalam syariat adalah iman, amal dan niat yang ikhlas. Tarekat kesufian sangat efisien di dalam memupuk keikhlasan. Ketika melalui tingkat fana, sifat-sifat buruk tertanggal dan sifat ikhlas menjadi identik. Setelah keluar dari kefanaan sifat ikhlas itu menjadi kepribadian. Orang sufi tidak perlu lagi membentuk keikhlasan dalam beramal karena ikhlas sudah menjadi spontan pada setiap amalannya. Bila ikhlas sudah menjadi kepribadian seseorang barulah dia mencapai reda. Ikhlas dan reda tidak berpisah. Orang yang ikhlas dalam amalnya dan reda dengan hukum dan peraturan Tuhan itulah yang memperoleh ridha Allah yang merupakan karunia Allah yang paling baik di dunia dan di akhirat.

Orang yang tidak menjalani tarekat sufi menemukan sulit untuk mempertahankan keikhlasan. Rangsangan yang mau merusak keikhlasan itu selalu saja mendatanginya. Rasa ujub dan riya selalu masuk ke dalam hatinya untuk mengusir ikhlas keluar. Dia harus memelihara hatinya agar musuh-musuh ikhlas itu tidak dapat masuk. Perjuangan dalam jiwa itu sering menimbulkan kegelisahan dan suasana jiwa yang tenang sulit diperoleh. Ikhlas yang muncul dari paksaan tidak permanen.

Jika iman dan amal tersedia melalui ketaatan kepada aturan syariat, ikhlas yang menjadi intisari iman dan amal itu pula mudah diperoleh melalui suluk para sufi. Tanpa melalui perjalanan kepada Allah dan perjalanan dalam Allah, adalah sulit untuk mencapai keikhlasan yang sebenarnya, ikhlas dalam kata dan perbuatan, dalam gerak dan diam, yang lahir secara spontan bukan secara paksaan. Ikhlas itu lahir setelah dilakukan penolakan terhadap semua jenis tuhan-tuhan yang di dalam dan di luar diri, kemudian masuk ke fana dan baqa. Dengan cara yang demikian seseorang itu masuk ke makam kewalian yang khusus. Wali tingkat khusus melakukan apa saja karena Allah bukan karena muslihat diri sendiri, sebab dirinya sudah dikorbankan untuk Allah Wali tersebut tidak perlu menyucikan niat untuk memperoleh ikhlas karena niatnya telah dipersucikan tatkala dia mengorbankan segala kepentingan dirinya untuk Allah semata dan dia masuk ke kefanaan dan kebaqaan. Orang yang ada kesadaran terhadap dirinya, umumnya melakukan sesuatu dengan memperhatikan kepentingan diri, secara sadar atau tidak. Bila mencintai diri sendiri lenyap diganti dengan mencintai Allah, apa saja yang dilakukan karena Allah, apakah dia sengaja memperhatikan niatnya atau pun tidak. Orang yang sudah ada keputusan sejak awal bahwa segalanya adalah untuk Allah semata-mata, tidak perlu lagi memperjelas niatnya, tetapi orang yang masih ada pilihan untuk Allah atau untuk diri sendiri, atau untuk alasan yang lain, perlu memperjelas niatnya.
Wali yang menyempurnakan perjalanannya dan sampai ke daerah kekhalifahannya bertanggung jawab membersihkan jalan menuju Allah dari pencemaran dan kesamaran. Yang benar adalah jelas dan jalan ke kebenaran ini jelas. Yang salah adalah jelas dan jelas kepada kesalahan juga jelas. Wali kelas khalifah mampu menguraikan ucapan-ucapan ganjil yang muncul dalam daerah kewalian sufi. Nabi adalah umpama titik awal yang tanpanya tidak mungkin dilukiskan huruf. Wali-wali sufi adalah titik-titik yang membentuk garis lengkung. Titik Nabi dan titik-titik wali sufi membentuk huruf nun. Meskipun garis lengkung itu panjang tetapi ia tidak bergabung titik awal. Jadi ada perbedaan di antara garis lengkung dengan titik awal. Wali pada jalan kenabian yaitu khalifah spiritual adalah pencantum garis lengkung kewalian sufi dengan titik awal kenabian. Khalifah memahami suasana kewalian sufi dan mampu membawa mereka ke jalan kenabian. Khalifah menjadi penerjemah kata wali dan penegak kata Nabi. Kekusutan di Jalan kewalian Sufi diuraikan oleh khalifah. Kebenaran pada jalan kenabian diperjuangkan oleh khalifah. Dari waktu ke waktu Tuhan menampakkan khalifah-Nya untuk memperjuangkan jalan kenabian dan melindungi wali-wali yang tenggelam dalam jazbah, fana dan baqa.

Kebenaran sejati seperti yang ditemukan oleh para khalifah berada dalam syariat yang lengkap yang menggabungkan syariat lahir dengan syariat batin. Orang yang memasuki Jalan Sufi sangat mementingkan syariat batin sehingga biasa terjadi ada di kalangan mereka yang tidak menerapkan sebagian besar syariat lahir terutama yang melibatkan hubungan sesama manusia. Mereka yang tidak memasuki Jalan Sufi pula mementingkan syariat lahir sehingga kebanyakan penilaian dibuat berdasarkan perbuatan zahir dan mengabaikan praktek hati. Khalifah Allah mengetahui bahwa kebenaran terletak pada cantuman kedua syariat tersebut. syariat lahir adalah peraturan agama seperti yang dibicarakan oleh ilmu fikih. Syariat batin adalah amalan hati seperti yang dibicarakan oleh ilmu tasauf. Keislaman seseorang dikenal melalui syariat lahir. Syariat lahir yang membedakan orang Islam dengan orang kafir. Rasulullah saw menolak permintaan kaum Taqif yang mau dibebaskan dari shalat lima waktu. Khalifah Abu Bakar as-Siddik memerangi kelompok yang enggan mengeluarkan zakat. Rasulullah saw dan para sahabat beliau bertindak tegas terhadap orang yang menolak syariat lahir dan mereka sangat waspada terhadap orang diketahui meninggalkan syariat batin. Orang yang menolak syariat lahir karena ingkar adalah kufur. Orang yang membuang syariat batin adalah munafik. Syariat lahir berhubungan dengan praktek Islam. syariat batin berhubungan dengan praktek hati yaitu iman. Al-Quran menggabungkan iman dengan Islam (amal shalih).

Dan berikan kabar gembira kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih .. (Ayat 25: Surah al-Baqarah)
Jalan mahabbah adalah perbatasan di antara jalan kesufian dengan jalan kenabian. Fana dan baqa ada dalam daerah kewalian sufi. Transisi dari baqa kesadaran keinsanan ada di jalan mahabbah. Bila kesadaran keinsanan kembali sepenuhnya sufi tadi masuk ke jalan kenabian. Perjalanannya menjadi lengkap. Dia sudah kembali ke tempat dimulainya dan lingkaran perjalanan kerohaniannya berkumpul dan dia sudah bisa menanggung tugas kekhalifahan. Orang yang sampai ke daerah khalifah ini menjadi sesuai dengan al-Quran dan as-Sunnah. Mereka menjadi salinan kepada sahabat-sahabat Rasulullah saw Pada tingkat akhir ini mereka sudah berupaya membuat perbedaan sepenuhnya. Pegangan mereka juga berubah. Tuhan adalah Tuhan dan hamba adalah hamba. Baik adalah baik dan jahat adalah jahat. Benar adalah benar dan salah adalah salah. Tidak ada tolak-angsur lagi. Perbatasannya sangat jelas. Sufi itu pun bertobat dari pegangannya yang dahulu. Kini mereka rindukan akhirat, mencintai surga dan takut neraka.
Sufi yang dipilih untuk menanggung sesuatu tugas di dalam masyarakat akan ditarik ke jalan mahabbah. Ketika di dalam daerah kewalian sufi, jazbah menghancurkan secara mudah sifat-sifat yang tercela pada diri mereka dan dimasukkan kemampuan sifat-sifat yang terpuji sehingga sifat demikian menjadi kepribadian mereka. Mereka menjadi orang yang bersifat baik, bukan orang yang berusaha menjadi baik. Mereka menjadi ikhlas secara spontan bukan yang berperang dengan ria untuk mempertahankan ikhlas. Ketika mereka keluar dari daerah kewalian sufi dan dimasukkan ke dalam daerah kewalian cara kenabian, mereka masuk dengan ada persediaan segala kemampuan yang baik untuk menanggung bebas tugas yang akan diberikan kepada mereka kelak. Pada jalan mahabbah segala bakat dan kemampuan mereka digilapkan untuk melengkapi kewalian pada derajat khalifah yang layak memikul beban tugas khusus. Jalan mahabbah dimulai setelah kefanaan, yaitu dari baqa menuju ke kesadaran sepenuhnya karena sebelum memperoleh kembali kesadaran keinsanan mereka tidak layak menjadi Khalifah Allah yang mengelola urusan orang banyak. Ketika meninggalkan kefanaan dan masuk ke kebaqaan dan kesadaran keinsanan sudah mulai kembali, wali yang lebih matang itu dapat melihat perbedaan di antara Tuhan dengan makhluk, baik dengan jahat dan benar dengan salah. Awalnya menyaksikan perbedaan wali itu masih memiliki sikap toleran dengan sesuatu yang salah dan tidak benar. Meskipun kesalahan diakui ada namun, mereka tidak bertindak mengoreksi kesalahan tersebut. Pada tingkat ini mereka lebih banyak menyendiri dan enggan mencampuri urusan orang lain. Meskipun mereka sudah bisa melihat perbedaan di antara Tuhan dengan makhluk namun, mereka masih merasakan makhluk itu satu wajah atau aspek ketuhanan atau hak Tuhan, bukan ciptaan yang terpisah sepenuhnya dari Tuhan.
Sebagian sufi tetap dengan Cinta Allah dan menjadi MAJZUB terus menerus sampai akhir hayatnya. Golongan ini merupakan golongan wali yang tidak memiliki tugas kekhalifahan. Kewalian mereka hanya untuk diri mereka sendiri, berguna untuk hubungan mereka dengan Allah, tetapi tidak berguna bagi hubungan sesama manusia. Lagi pun kehadiran wali yang MAJZUB itu berguna bagi masyarakat untuk mengingat masyarakat agar mencintai Allah Cinta Allah yang terpancar dari mereka bisa menyadarkan orang-orang yang memiliki hati tetapi terhijab oleh kelalaian. Cinta Allah yang terzahir pada kewalian sufi menjadi besi berani menarik hati orang lain untuk melihat ke Tuhan dan meninggalkan hal yang melalaikan.
Sesungguhnya unggul Cinta Allah yang menguasai hati orang sufi. Sufi sanggup membelakangi surga demi Wajah Kekasihnya. Sufi sanggup menyeberangi neraka jika itulah jalan untuk sampai ke kekasihnya. Sufi sanggup menantang maut jika maut menghalanginya menemui kekasihnya. Jika benar ada orang yang sanggup mengarungi lautan api karena kekasih, maka sufilah orangnya. Layaklah sufi itu mendapat perlindungan dan kasih sayang dari Tuhan. Suasana perlindungan dan pengasuhan secara langsung dari Tuhan itulah yang dimaksudkan sebagai kewalian. Al-Waliyyu, Yang Maha Melindungi, memayungkan wali-wali-Nya dengan penjagaan dan perlindungan. Jazbah, fana dan baqa bukanlah kewalian yang sebenarnya. Itu semua hanyalah fenomena yang sering muncul pada orang yang dipayungi oleh al-Waliyyu, atau orang yang berada dalam daerah kewalian, terutama kewalian sufi. Tanpa fenomena demikian kewalian tetap ada.
Ketika di dalam daerah kewalian sufi, mengalami fana dan jazbah, orang sufi melupakan dan membuang segalanya kecuali Allah Mereka tidak menginginkan surga dan tidak takut neraka. Dosa dan pahala sama saja bagi mereka. Mereka menyangkal perbuatan diri mereka dan mengisbatkannya kepada perbuatan Tuhan. Mereka tidak beristighfar pada kesalahan yang terjadi pada mereka. Bagi mereka istighfar menunjukkan mereka mengklaim diri mereka memiliki kekuasaan untuk melakukan sesuatu, sekalipun perbuatan itu adalah perbuatan dosa. Mengaku diri berkuasa lebih berat dari dosa itu sendiri. Bagi mereka segala daya dan upaya adalah milik Allah Segala sesuatu adalah ciptaan dan perbuatan Allah Allah menciptakan mereka, daya dan upaya mereka, keinginan mereka, perbuatan mereka dan segala-galanya. Karena itu mereka menerima apa saja yang datang ke mereka dengan reda. Mereka membuang ikhtiar memilih. Bagi mereka cukuplah Allah saja yang mengadakan pilihan dan mereka menerima pilihan Tuhan itu. Mereka mengubah kehendak diri mereka kepada kehendak Tuhan. Apa saja yang mendatangi mereka adalah kehendak Tuhan. Jadi mereka tidak menghindarkan kemudaratan yang sampai kepada mereka. Mereka tidak bergembira dengan nikmat dan tidak berdukacita dengan bala. Nikmat dan bala berjalan menurut kehendak Allah, dengan Kudrat dan Iradat-Nya. Jika sesuatu itu ada pada Iradat-Nya, maka Kudrat-Nya melaksanakannya. Tidak ada siapapun yang ikut campur dalam urusan-Nya.

Tuesday, 26 February 2013

Bagaimana mungkin kau mampu memindahkan gunung, membendung sungai, menguras lautan, sementara memindah kerikil saja kau tak mampu.
NABI SAW TAK PERNAH MENGAJARKAN PADA ORANG KAFIR BAGAIMANA CARA SHOLAT, SEBAB SHOLAT TDK DI PERINTAHKAN BAGI ORANG KAFIR
kerugian paling dilakukan manusia tiap hari, tapi tak pernah dirasakan adalah menunda nunda amal kebaikan, selalu ayaitan itu membuatkan alasan kepada manusia jika AKAN. melakukan kebaikan manusia dibuatkan alasan yang paling masuk akal, agar menunda nunda perbuatan baiknya, nanti saja, nanti saja, kemudian nanti dibisikkan penyesalan. dengan menyesali perbuatan baik yang tidak jadi dilakukan. dan begitu berulang ulang sampai maut menjemputnya.

Monday, 25 February 2013

Tarekat sufi bukan bertujuan untuk memperoleh penyaksian terhadap rupa, bentuk, warna dan cahaya. Ia juga bukan untuk mendapatkan kekeramatan. Apa juga yang disaksikan dan apa juga yang diperoleh adalah gubahan Tuhan, bukan Tuhan. Tarekat sufi bukan untuk mengubah manusia menjadi Tuhan. Tuhan tetap Tuhan dan hamba tetap hamba, tidak bisa diadakan bahasa yang kesamaran mengenai perbedaan dua hal tersebut. Pada satu tingkat perjalanan sufi mungkin terjadi terbalik pandangan mereka sehingga mereka tidak melihat perbedaan di antara hamba dengan Tuhan. Hal demikian terjadi bukan disengaja. Ia terjadi akibat tabrakan diri rohani dengan alam tinggi. Tabrakan tersebut menimbulkan mabuk. Orang yang sedang asyik dengan Tuhan, ketika dikuasai oleh mabuk, tidak melihat lagi ke yang lain kecuali Tuhan. Bagi mereka semuanya adalah Tuhan. Apa yang ditemukan pada tingkat ini bukanlah kebenaran yang mutlak. Ia baru suasana menuju kebenaran. Suasana demikian hanyalah bayangan atau misal yang muncul dalam alam kebatinan sufi yang sedang dilambung gelombang kefanaan dan keasyikan dengan Tuhan. Keasyikan seorang pria kepada seorang gadis sering juga menimbulkan bentuk misal. Lagu-lagu percintaan sering menggambarkan rupa kekasih sebagai bulan purnama dan suara sebagai buluh perindu. Misal yang digubah dalam kesadaran hanyalah khayalan, tetapi misal dalam alam ghaib adalah nyata dalam kegaiban (bisa disaksikan oleh mata hati tetapi tidak bisa dilihat dengan mata lahir). Yang menyatakan pada hati orang yang sedang jatuh cinta hanyalah gambaran, bayangan atau misalan yang tidak sedikit pun menyerupai yang asli. Kecintaan kepada Tuhan memberi efek yang sangat kuat pada hati. Orang yang asyik dengan keindahan Tuhan bisa berdiri di tepi pantai dari pagi sampai petang, tanpa jemu, tanpa menghiraukan panas matahari. Bila ditanya apa yang dia lihat, dia akan mengatakan dia melihat Tuhan. Keasyikan kepada Tuhan bercampur dengan rindu yang membara membuat seseorang mabuk ketuhanan sehingga tidak ada apa yang disaksikannya melainkan dinisbahkannya kepada Tuhan. Suasana hati yang demikian juga melahirkan rasa bersatu dengan Tuhan. Penyatuan hanya terjadi dalam alam perasaan, bukan penyatuan yang sebenarnya.

Menyaksikan hal gaib dan mendengar suara gaib bukanlah akibat jalan sufi. Semua itu hanyalah bayangan. Allah berbeda, tidak persamaan sedikit dengan yang demikian. Namun tinggi pun anggapan diberikan kepada suatu pengalaman spiritual itu tidak ada nilai sebelum diuji dengan al-Quran dan as-Sunnah. Jika pengalaman tersebut sesuai dengan al-Quran dan as-Sunnah barulah ia menjadi berharga dan bisa dipegang. Ketika seseorang itu masih diperingkat bayangan kerohaniannya masih belum matang dan dia belum mencapai kesempurnaan. Jika dia terus menerus di dalam bayangan, tinggalkan dia dengan alamnya sendiri. Tuhannya yang akan menjaganya. Ikutlah wali yang telah sampai kepada kesempurnaan jalan, beramal sesuai dengan cara Nabi Muhammad saw

Jangan sekali-kali melepaskan pandangan dari Rasulullah saw dan para sahabat beliau.
Ada juga orang yang memasuki aliran kesufian dengan tujuan mendapatkan kemampuan yang luar biasa karena mereka terpesona melihat kekeramatan yang keluar dari wali sufi. Bidang kekeramatan yang paling digemari adalah keramat lahir yaitu kemampuan luar biasa dalam bidang keduniaan. Sufi beramal karena mau menyucikan hati untuk mengabdi kepada Tuhan. Kelompok sufi celup itu pula menggunakan praktek sufi untuk mendapatkan kemampuan yang luar biasa dan ilmu yang mampu menguasai sesuatu untuk kepentingan duniawi. Praktek yang dilakukan orang karena Allah diceduk untuk dijadikan praktek karena kepentingan diri sendiri. Pekerjaan ibadat menurut peraturan syariat digubah menjadi khurafat. Pengalaman kebatinan pada alam khadam dikatakan alam ketuhanan. Setelah memperoleh keramat khadam mereka mengklaim diri mereka sudah menjadi wali yang agung. Bila sudah menguasai sesuatu kemampuan yang luar biasa mulailah mereka mengklaim ketuhanan diri lalu menanggalkan kehambaan dan melemparkan syariat. Mereka adalah kelompok yang sesat dan kufur!
Tidak semua orang yang menempuh jalan spiritual akan kembali ke kesadaran semula. Ada yang menjadi MAJZUB terus menerus, fana dalam Tuhan secara berkelanjutan dan tidak kembali lagi ke kesadaran keinsanan. Orang yang seperti ini telah naik ke tempat yang tinggi tetapi tidak menemukan jalan turun. Suasana kebatinan mereka berbeda dari masyarakat. Karena itu adab dan sopan santun masyarakat tidak memberi apa-apa makna kepada mereka, malah syariat juga bisa tertanggal ketika mereka dikuasai oleh jazbah. Orang yang hilang kesadaran ini tidak bisa dijadikan pembimbing karena mereka berbicara bahasa zauk sedangkan orang yang dalam kesadaran menggunakan akal untuk menafsirkan pengalaman zauk. Akal tidak mampu menjelaskan pengalaman hakikat.

Orang yang dalam zauk banyak berbicara tentang hal gaib dan hal ketuhanan. Dari mulut mereka juga mudah keluar cerita tentang penyaksian mata hati terhadap rupa, bentuk, warna dan cahaya yang dinisbahkan kepada ketuhanan. Orang yang dalam zauk juga melahirkan keasyikan yang mendalam kepada Tuhan. Dari mereka juga selalu keluar hal luar biasa yang diistilahkan sebagai keramat. Kekeramatan yang disaksikan menyebabkan orang lain menjadi yakin dengan apa yang mereka katakan. Ada orang yang di dalam kesadaran menggubah konsep ketuhanan hanya dengan mendengar ucapan orang MAJZUB. Tuhan dimasukkan ke dalam perbatasan rupa, bentuk, warna dan cahaya atau sesuatu menurut khayalan dan prasangka mereka. Orang yang di dalam kesadaran biasa, tidak pernah mengalami zauk, menjual konsep ketuhanan yang diperoleh dari kata orang MAJZUB, adalah orang yang sesat dan menyesatkan. Golongan ini dan pengikut mereka adalah kafir, tetapi orang MAJZUB, meskipun pada zahirnya melanggar syariat, mereka patut dimaafkan karena mereka dikuasai oleh mabuk.
Perkembangan spiritual sufi dalam mencapai kesempurnaan melalui empat tingkat. Tingkat pertama dinamakan perjalanan menuju Allah Sufi bergerak dari pengetahuan yang rendah kepada pengetahuan yang lebih tinggi sampai ke pengetahuan tentang wajibul wujud. Dalam proses ini pengetahuan tentang mumkinul wujud (wujud yang mungkin) berkurang sedikit demi sedikit hingga akhirnya terhapus terus. Kondisi ini disebut fana. Fana membawa sufi memasuki tingkat ke dua, dinamakan perjalanan dalam Allah ini merupakan proses perjalanan yang diistilahkan sebagai makrifat atau mengenal Allah dalam suasana yang dinisbahkan kepada ketuhanan atau hakikat-hakikat seperti nama-nama Tuhan, sifat-sifat Tuhan dan hal-hal ketuhanan . Selanjutnya sufi sampai ke suasana yang tidak kata dan bahasa bisa bercerita, tidak sifat bisa mengibaratkan, tidak hubungan bisa dihubungkan dan tidak sesuatu penjelasan. Pengetahuan tidak ada dan makrifat juga tidak ada dalam suasana yang demikian. Tidak ada pengetahuan dan tidak ada identifikasi yang mampu bercerita tentang zat Allah Pengalaman pada suasana spiritual yang demikian dinamakan baqa atau hidup bersama Tuhan. Ini adalah penghabisan tingkat ke dua. Perjalanan tingkat pertama dan ke dua melengkapi kewalian cara sufi. Orang yang telah menempuh dua tingkat ini disebut sebagai wali sufi atau wali kecil.

Sufi berikutnya bergerak ke tingkat ke tiga yang dinamakan perjalanan dari Tuhan. Dalam tingkat ini perjalanan dimulai dari pengetahuan yang tinggi ke yang lebih rendah yaitu dari wajibul wujud kepada mumkinul ada. Sufi yang sampai ke tingkat ini disebut orang arif yang lupakan Tuhan melalui Tuhan, yang kembali dari Tuhan dengan Tuhan, yang kehilangan tetapi menemukan, yang terpisah tetapi bersatu, yang jauh tetapi dekat, yang tidak bisa dikatakan tetapi tahu, yang tidak bisa dianggap tetapi kenal . Tingkat ke tiga ini merupakan kebalikan ke tingkat kedua. Ketika berada pada tingkat kedua sufi mengalami suasana yang diistilahkan sebagai fana dalam Tuhan. Pada tingkat ke tiga pula sufi meninggalkan makam ketuhanan dalam kondisi tidak berpisah dengan Tuhan. Pengaruh mabuk dan wahdatul wujud sudah berkurang. Kesadaran kemanusiaan sudah mulai kembali sedikit demi sedikit. Bila kesadaran kemanusiaannya telah bertambah kuat sufi melengkapi perjalanan pada tingkat ke empat yaitu perjalanan dalam alam materi. Pada tingkat ini sufi kembali mengenali sesuatu yang dilupakannya pada tingkat pertama dahulu. Tingkat pertama membuat sufi lupa tetapi tingkat ke empat membuat sufi kembali mahal. Alam materi menjadi terang benderang kepadanya dan akhirnya dia kembali sepenuhnya kepada kesadaran dirinya dan alam maujud. Dia kembali ke tempat dia mulai. Perjalanannya menjadi lengkap.

Perjalanan tingkat ke tiga adalah perubahan dari jalan kesufian ke jalan kenabian. Tingkat ke empat adalah penyempurnaan cara kenabian untuk memikul tugas yang mulia yaitu membimbing umat manusia kepada Tuhan, melanjutkan perjuangan Nabi-nabi.

Ada pula orang yang memasuki jalan kesufian karena dipaksa bukan dengan sengaja. Golongan ini bisa diibaratkan sebagai orang-orang yang memiliki tugas tetapi mereka leka dengan kehidupan harian sehingga tercampak jauh dari tujuan mereka diciptakan. Dengan rahmat dan belas kasihan Tuhan mereka disentak dari kelalaian tersebut dan diseret menghadap Tuhan. Mereka dipisahkan dari apa saja yang menghalangi mereka dari kembali ke Tuhan. Dalam kelompok inilah terdapat raja yang diturunkan dari tahtanya, orang kaya yang jatuh miskin, orang cantik yang menjadi jelek dan sejenisnya mereka. Perubahan yang mendadak menimpa mereka memisahkan mereka dari beban berat yang menghalangi mereka berjalan ke Tuhan dan pada waktu yang sama juga mereka terpisah dari orang banyak. Mereka tidak ada pilihan kecuali mengasingkan diri. Dalam pengasingan itu mereka memperbanyak ibadah kepada Tuhan, membentuk penyerahan yang sejati, merelakan apa takdir yang sampai kepada mereka. Efek dari tes yang menimpa mereka secara mendadak itu dihapus selama pemisahan atau bersuluk. Dalam keasyikan ibadah itu terbuka kepada mereka tingkat-tingkat perjalanan seperti yang dilalui oleh sufi kelompok pertama. Kelompok pertama berjalan ke Tuhan berbekalkan pengharapan. Kelompok ke dua ini pula tidak membawa bekal karena segala sesuatu telah diserahkan kepada Tuhan. Mereka telah rela dengan apa juga takdir yang sampai kepada mereka. Kelompok pertama bekerja keras menghapus segala kehendak diri sendiri agar kehendak Tuhan menjadi kehendaknya ini. Pada kelompok ke dua pula segala kehendak diri sendiri telah dihapus ketika tes bencana menghempap mereka. Penghapusan kehendak diri terjadi dengan cepat diikuti oleh sifat penyerahan bulat kepada Tuhan, menghapus sifat-sifat keji dari hati mereka. Selanjutnya kesadaran diri ikut lenyap bersama-sama dengan pengaruh akal pikiran dan perasaan. Mereka masuk ke suasana yang dipanggil MAJZUB. Orang MAJZUB mengalami berbagai hal ketuhanan yang menghasilkan makrifat. Grup yang berjalan melalui tarekat tes bala ini berjalan lebih cepat dari kelompok pertama yang melakukan latihan bersuluk secara kesadaran dan kehendak sendiri, tetapi perkembangan spiritual pada kelompok pertama lebih teratur dari kelompok ke dua. Bimbingan dari guru yang arif dan pasokan ilmu yang cukup membantu kelompok pertama meningkat dalam bidang kerohanian secara Bersistematik dan mereka memperoleh informasi tentang apa yang mereka alami. Kelompok ke dua pula biasanya menjadi MAJZUB tanpa berguru dan mengalami hakikat tanpa mendapat penjelasan tentang. Grup MAJZUB ini akan berjalan terus melalui berbagai pengalaman tanpa mendapat pengetahuan yang jelas tentang apa yang mereka alami. Setelah mereka melewati tingkat MAJZUB dan kembali kepada kesadaran keinsanan barulah mereka mempelajari hakikat yang telah mereka alami. Grup yang bergerak secara perguruan selamat dari fitnah masyarakat. Grup yang tiba-tiba menjadi MAJZUB tanpa berguru sering menimbulkan fitnah kepada orang banyak karena latar belakang mereka yang tidak kuat dan tidak alim dalam bidang agama, sedangkan mereka mulai berbicara tentang ketuhanan, membuat orang curiga kepada mereka. Lebih buruk lagi jika di dalam kondisi hilang kesadaran itu mereka tidak mematuhi peraturan syariat dan adab kemanusiaan. Namun setelah mereka kembali ke kesadaran dan memperoleh pengetahuan tentang pengalaman spiritual mereka, mereka akan bergerak sesuai dengan aturan syariat dan dapat menghindari diri dari menimbulkan kekeliruan kepada masyarakat.
memasuki suluk dengan niat: "Ilahi! Engkau-lah tujuan dan keridaan Engkau saja yang dicari ". Mereka tidak pernah mengetahui, apa lagi terlibat dengan paham wahdatul wujud, tidak ada motif mau bersatu dengan Tuhan, tidak mengimpikan fana, zauk dan jazbah dan tidak berencana meninggalkan syariat. Keyakinan mereka terhadap syariat tidak pernah bergoyang, cuma sesuatu tentang syariat itu yang mereka tidak jelas. Menanggapi yang tidak jelas itu mereka tidak mendapatkan melalui jalan yang telah mereka lalui. Kesungguhan melakukan ibadah dan menuntut ilmu tidak menghilangkan gangguan rangsangan setan. Setiap kebaikan yang dilakukan diiringi oleh bisikan yang mau merusak kebaikan tersebut. Dalam suasana demikian ikhlas adalah sesuatu yang dipaksakan dan mereka harus bekerja keras mempertahankan keikhlasan itu. Bukan sekedar mempertahankan keikhlasan bahkan kesungguhan melakukan ibadah juga harus dibaja karena ada saja sesuatu yang mencegah mereka berbuat ibadah. Pergaulan dengan orang banyak menjadi jalan bagi musuh-musuh ibadah dan ikhlas menyerang mereka. Benteng yang paling baik untuk mereka mempertahankan diri adalah suluk. Latihan-latihan yang dilakukannya selama bersuluk membawa mereka melewati gangguan rangsangan setan. Amal ibadah dapat dilakukan dengan mudah dan ringan. Sabar, ridho, tawakkal dan ikhlas menjadi kepribadian mereka, terjadi secara spontan, bukan lagi sifat yang dipaksakan.

Saat bersuluk itu mungkin mereka terbawa ke pengalaman spiritual dan terdorong ke wahdatul wujud, tetapi akar kehambaan yang teguh akan membawa mereka melewati itu untuk kembali ke jalan kenabian. Kapan rohani mereka telah benar-benar matang, percampuran dengan masyarakat tidak lagi membahayakan mereka. Pada waktu itu mereka 'diperintahkan' untuk kembali ke masyarakat karena ada tugas yang harus mereka lakukan. Mereka masuk kembali ke kegiatan masyarakat, membimbing masyarakat agar selamat dari kemusyrikan, kemunafikan, kefasikan dan kemunkaran, selanjutnya kembali ke Tuhan dengan akidah dan praktek yang bersih.

Grup yang diceritakan di atas merupakan orang yang sampai ke jalan kenabian melalui jalan kesufian meskipun mereka tidak mengetahui maksud sufi dan istilah-istilah tasawuf. Mereka telah memperoleh manfaat yang besar dari latihan spiritual secara bersuluk. Hati mereka umpama pelita yang memiliki sumbu tetapi tidak memiliki minyak. Latihan kesufian umpama memasukkan minyak ke dalam pelita. Gurunya umpama api yang menyalakan pelita tersebut. Setelah pelita hatinya menyala akalnya mampu mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang mengganggunya selama ini, yang tidak dapat di jelaskan oleh orang lain. Jiwanya menjadi tenang. Derajat kehambaannya meningkat sehingga sampai kepada kesempurnaan. Dia layak bergelar hamba Tuhan yang melaksanakan kehendak dan aturan Tuhan sebagai yang dikehendaki. Tarekat kesufian telah membawanya ke jalan kenabian yang sebenarnya. Kepercayaan dan keyakinannya kepada kebenaran syariat bertambah dan menjadi teguh dan memudahkannya melaksanakan dan mengamalkan tuntutannya. Mereka bergerak di dalam masyarakat sesuai dengan cara Nabi Muhammad saw dan para sahabat beliau berkecimpung di dalam masyarakat. Mereka telah sampai ke tujuan mereka diciptakan. Sampai ke tujuan penciptaan manusia itu adalah tingkat paling tinggi. Allah menciptakan manusia untuk mengabdi kepada-Nya. Kehambaan adalah tingkat paling tinggi dan paling sempurna. Mereka berpegang kepada Kebenaran Hakiki sebagaimana dinyatakan oleh al-Quran dan as-Sunnah. Tidak ada kebenaran yang mengatasi kebenaran syariat. Setelah menemukan kebenaran syariat dan mencapai tingkat kehambaan yang sejati, berakhirlah latihan spiritual. Peringkat berikutnya adalah bekerja menurut tingkat yang dicapai dan kebenaran yang ditemukan, sebagaimana Rasulullah bekerja setelah menghabiskan tingkat khalwat di Gua Hiraa.
Sama sekali tak bisa di ingkari, bahwa ketika Nabi SAW, menjelaskan jika manusia itu baik buruknya tergantung pada segumpal daging yang di dalam tubuhnya yang bernama hati, jika hati itu buruk, maka buruk juga perangai dan akhlaq manusia, jika hati itu baik maka bagus pula perangai dan akhlaq manusia,

ketika dunia ini betapa begitu sulitnya menemukan moral yang baik, dan akhlaq yang terpuji, di mana mana ada kejahatan, di lapisan paling atas pemerintahan, dan lapisan paling bawah preman jalanan, kejahatan seperti wabah yang menggerogoti moral suatu bangsa, kerusuhan di mana-mana, tawuran sudah menjadi tradisi, hal sepele bisa menjadi perang antar desa, dan itu tidak bisa tidak menunjukkan kemerosotan moral masyarakat, juga menunjukkan merosotnya kadar kebaikan hati, hati ntelah di cuci dengan darah yang di peras dari makanan haram, hati itu mungkin telah menjadi sepekat aspal, dan sekeras besi baja, bahkan sepanas leburan tir, dalam situasi yang seperti itu, manusia yang menggunakan rasio akalnya, akan mencari sumber pembenahan diri, dan sumber pembenahan diri itu bisa saja lewat macam bentuk, ah ini sepertinya harus ditambah hukumnya, ah ini anak sekolah harus dididik dengan keras ala militer, ah ini juga tak sedikit yang hanya mencari kambing hitam dari kemerosotan moral bangsa, tanpa sedikitpun tergerak untuk membenahi, setidaknya dari diri sendiri,

orang yang mengakal dengan rasio perhitungan sempurna, maka akan mengikuti saran dari nabi SAW, yaitu memperbaki hati bangsa dari hati kita sendiri, lalu hati keluarga kita, lalu hati masyarakat kita, sebagaimna fitrah manusia yang memasuki jalan kesufian dan melakukan berbagai latihan spiritual didorong oleh tujuan yang suci yaitu untuk menjadi hamba Allah sebaik mungkin .. Mereka telah terlebih dahulu mengikuti jalan yang dilalui oleh masyarakat. Mereka telah bersungguh-sungguh menuntut ilmu dan beramal menurut peraturan syariat. Kehidupan harian dijadikan tarekat buat bermujahadah pada jalan Allah, demi memperoleh ridha-Nya. Dia kuat melakukan ibadah dalam aspek hubungan dengan Tuhan dan juga praktek dalam aspek hubungan sesama manusia. Meskipun mereka sudah menjaga aturan syariat sekadar kemampuan mereka, namun hati mereka masih merasakan kekosongan. Mereka sudah bertemu dengan berbagai guru namun, banyak persoalan yang timbul dalam pikiran mereka tidak dapat dijelaskan secara memuaskan hati mereka. Mereka sampai ke tingkat menemukan sesuatu yang mereka sendiri tidak tahu apa yang dicari. Mereka diganggu oleh persoalan-persoalan yang mereka tidak tahu di mana akan mendapatkan jawaban. Mereka merasakan kekosongan jauh di dalam lubuk hati, seolah menantikan sesuatu untuk memenuhinya. Kekuatan akal mereka sudah sampai ke perbatasan yang tidak dapat ditembus lagi. Jiwa mereka menjadi tidak tenteram dan pikiran mereka keliru. Mereka mencoba mencari kedamaian melalui praktek tetapi tidak berhasil. Mereka mencoba mendapatkan kedamaian melalui orang-orang alim yang mereka kenali, juga tidak berhasil. Orang alim merupakan modal terakhir mereka. Bila modal tersebut gagal memberikan hasil yang mereka harapkan, mereka sampai ke titik transisi. Jiwa mereka mudah terangsang saat melihat kesyirikan, kemunafikan, kefasikan dan kemunkaran yang terjadi di sekeliling mereka. Mereka melihat kerusakan terjadi tetapi mereka tidak mampu menahannya. Ketika mereka memandang ke masyarakat mereka melihat kepada kemunkaran dan kerusakan dan ketika mereka memandang kepada diri sendiri mereka melihat ketidak-upayaan mereka mencegah kerusakan yang terjadi. Mereka melihat kerusakan yang terjadi pada masyarakat seperti melihat ombak besar yang menggulung diri mereka. Dalam kondisi yang demikian mereka melihat jalan keselamatan buat mereka adalah memisahkan diri, lalu mereka masuk ke dalam lembah suluk.

Sunday, 24 February 2013

Puncak kesempurnaan iman, ilmu, amal, takwa, pengalaman dan prestasi, ada pada Nabi Muhammad saw Beliau menjadi teladan yang paling baik dan paling tinggi untuk diikuti dan beliau juga harus dijadikan model di dalam menentukan posisi seseorang wali. saw Ketinggian derajat seseorang wali ditentukan dengan sejauh mana wali itu mendekati kualitas-kualitas yang ada pada Nabi Muhammad. Ada wali yang terlibat semata-mata dalam urusan hubungan dengan Tuhan. Wali yang fana dalam Tuhan ini melakukan tuntutan agama yang paling minimal, seperti shalat, tetapi sangat kurang keterlibatannya dalam kebaktian kepada sesama manusia. Ada pula wali yang di samping keras di dalam urusan hubungan dengan Allah, mereka juga bersungguh-sungguh di dalam melaksanakan kewajiban sesama manusia. Wali jenis kedua menjalani kehidupan yang lebih sesuai dengan kehidupan Nabi Muhammad dan mereka adalah wali yang lebih baik, lebih tinggi dan lebih sempurna. Wali yang bermukim di dalam daerah kewalian sufi, menjadi MAJZUB atau fana dalam Allah secara terus menerus, perjalanannya tidak lengkap. Wali yang demikian hanya berjalan separuh jalan saja. Mereka berhenti sebelum menemukan Yang Hakiki. Wali tersebut melengkapi perjalanan ke Tuhan dan dalam Tuhan sehingga mencapai tingkat bersatu dengan Tuhan. Suasana bersatu dengan Tuhan menimbulkan mabuk yang melahirkan tingkah-laku dan tutur-kata yang aneh-aneh. Kemabukan menyebabkan wali tersebut terputus dari peraturan dan sopan santun kemanusiaan. Dalam kondisi demikian juga peraturan syariat tidak dihormati. Wali jenis ini tidak dibolehkan menjadi pembimbing manusia lain karena sifat-sifat kemanusiaannya sudah lenyap. Wali yang layak membimbing manusia lain adalah yang maju terus melewati tingkat bersatu dengan Tuhan, bergerak jauh dari Tuhan dengan Tuhan, menyaksikan perbedaan di antara hamba dengan Tuhan, menyaksikan wujud hamba yang berpisah dengan Wujud Tuhan, keluar dari suasana mabuk dan kembali ke keinsanan untuk masuk diri dalam kegiatan masyarakat. Wali jenis ini merupakan wali yang melewati kewalian sufi dan masuk ke kewalian cara kenabian. Merekalah yang menjadi khalifah Allah di bumi, memikul satu-satu bidang tugas khusus untuk kemanfaatan manusia umum. Inilah kelompok wali yang menghubungkan perjuangan Nabi Muhammad saw dan para sahabat beliau Grup ini memikul tugas berdakwah membimbing masyarakat ke jalan Tuhan. Orang-orang yang kembali ke jalan Tuhan dipersucikan zahir dan batin agar menjadi hamba Tuhan yang sebenarnya. Hamba yang dipersucikan, berjalan di jalan Tuhan, bekerja menegakkan syariat Allah di atas muka bumi. Pekerjaan wali-wali yang sampai kepada cara kenabian merupakan pekerjaan yang paling mulia karena mereka melakukan pekerjaan Nabi-nabi. Mereka mendapat posisi yang paling mulia, sebagai sahabat Allah dan Rasul-Nya yang akrab.

Perilaku Rasulullah saw dan para sahabat beliau harus dijadikan neraca dalam menentukan sesuatu agar penilaiannya benar dan tepat. Dalam menilaikan posisi seseorang wali, neraca yang didirikan oleh Nabi Muhammad saw harus digunakan Sikap menjadikan kekeramatan sebagai pengukur kewalian adalah sikap yang tidak benar. Kekeramatan bukanlah pertanda ketinggian derajat seseorang wali, malah kekeramatan bukanlah Persyaratan kewalian. Biasa terjadi wali yang lebih rendah posisinya mengeluarkan kekeramatan yang lebih banyak dari wali yang lebih tinggi kedudukannya. Wali yang paling tinggi yang muncul pada zaman di belakang ini tidak dapat menyamai posisi kewalian para sahabat Rasulullah yang paling rendah. Para sahabat yang berkedudukan sebagai wali tingkat tertinggi pada semua zaman jarang atau tidak ada yang mengeluarkan kekeramatan, tetapi wali yang datang kemudian banyak mengeluarkan kekeramatan. Perlu diingat bahwa orang kafir, ahli maksiat dan tukang sulap juga biasa mengeluarkan hal yang luar biasa seperti yang terjadi di kalangan wali-wali. Hal luar biasa yang dikeluarkan oleh orang kafir, ahli maksiat dan tukang sulap, tidak ada kaitan dengan posisi iman.

Konsep kewalian telah lama menyesatkan umat Islam. Pengagungan kewalian cara sufi dan kelalaian kewalian cara kenabian telah lama menguasai pemikiran mereka. Paham wahdatul wujud, isu bersatu dengan Tuhan, aborsi taraf kehambaan dan tidak peduli pada aturan syariat telah dikaitkan kewalian. Kekeliruan ini sudah sangat jauh menyeret umat Islam. Ia harus diperbaiki dengan cara menyebarkan konsep kewalian yang sebenarnya, yang sesuai dengan ajaran al-Quran dan as-Sunnah. Butuh dipahami bahwa wahdatul wujud adalah efek samping yang bersifat sementara yang dialami oleh wali sufi yang masih di dalam perjalanan. Jika dia menetap di kewalian sufi efek tersebut akan berkepanjangan. Jika dia masuk ke kewalian yang lebih sempurna, yaitu kewalian cara kenabian, efek itu akan hilang. Dia akan kembali ke syariat dengan penuh keyakinan. Wali yang sampai kepada cara kenabian adalah lebih benar dan lebih tinggi kedudukannya. Wali cara kenabian keras dalam kehambaan, mematuhi peraturan syariat dengan sepenuh jiwa raga mereka. Mereka kuat melakukan ibadah, bertakwa dan beramal salih.

Karena Islam mencakup segala bidang maka Allah mendatangkan wali-Nya dalam segala bidang juga. Dalam Islam ada fardhu ain dan fardhu kifayah. Jika tidak ada seorang pun orang Islam yang menunaikan fardu kifayah dalam sesuatu hal maka semua orang Islam menanggung kesalahannya. Begitu juga jika tidak ada seorang pun wali yang terlibat dalam fardu kifayah maka seluruh wali menanggung kesalahannya. Tuhan tidak berkehendak yang demikian terjadi pada wali-wali-Nya. Jadi Tuhan mendatangkan wali dalam segala bidang. Ada wali yang dikhususkan dalam bidang administrasi negara, sebagaimana Nabi Daud dan Sulaiman mewakili kenabian dalam bidang tersebut. Ada wali yang dikhususkan dalam bidang manajemen pertanian sebagaimana Nabi Yusuf as mewakili kenabian dalam bidang tersebut. Begitu juga dalam bidang-bidang yang lain yang memberi manfaat kepada umat manusia dan makhluk Allah Isa as berpartisipasi dalam bidang medis, Nabi Nuh dalam bidang pertukangan, Musa dalam bidang peternakan dan Nabi-nabi yang lain juga ada bidang kegiatan masing-masing. Nabi Muhammad saw adalah Nabi yang paling aktif di dalam kegiatan kehidupan harian. Beliau pernah memasuki bidang peternakan dan bisnis. Beliau adalah juga pemerintah angkatan perang dan pemimpin agung negara. Beliau adalah seorang mufti dan hakim. Ilmu beliau meliputi segala bidang ilmu yang diketahui oleh manusia. Beliau mengajarkan ilmu alam, astronomi, kaji hayat, kedokteran, sains, sejarah, siasat dan lain-lain. Tidak akan ada lagi seorang manusia yang mampu menguasai semua bidang dan semua ilmu seperti yang dilakukan oleh Rasulullah saw Manusia lainnya hanya dikhususkan dalam satu atau beberapa bidang saja. Golongan khusus itu adalah wali-wali yang disertakan dengan pengetahuan dalam bidang tersebut. Baik Nabi maupun wali yang terlibat sesuatu bidang spesialisasi tersebut, mereka melaksanakan tugas mereka sesuai dengan aturan Allah Kegiatan harian tidak menyebabkan urusan ibadah mereka tertinggal. Inilah perbedaan besar di antara wali yang menceburi bidang kehidupan harian dengan orang lain yang berada dalam bidang yang sama. Seorang wali yang menceburi bidang ekonomi mampu menegakkan sistem perekonomian Islam di tengah-tengah berbagai sistem ekonomi dunia.

Para ilmuwan Islam harus menyadarkan umat Islam tentang kewalian. Tokoh-tokoh ilmu yang menghiasai lembaran sejarah Islam harus dikaji dengan mendalam apakah tidak mungkin mereka adalah wali-wali yang dikhususkan dalam bidang tersebut. Orang-orang yang lebih jelas kewalian dan kekhalifahan mereka seperti Imam Syafi'' e, Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Hanbali dan lain-lain, harus ditonjolkan sebagai wali sebagaimana layaknya, agar kewalian mereka bisa dicontoh dan tidaklah orang beranggapan hanya orang sufi saja yang menjadi wali.
Bagi orang yang dipimpin, meskipun pada tingkat awal dia memasuki jalan kewalian sufi namun, akhirnya dia akan sampai ke jalan kewalian cara kenabian. Pengalamannya dalam bidang kewalian sufi membantunya membentuk keyakinan setelah dia pindah ke kewalian cara kenabian. Meskipun kebanyakan sufi yang terkenal memulai perjalanan cara kewalian sufi dan kemudian pindah ke kewalian cara kenabian, tetapi kewalian cara sufi bukanlah kondisi yang harus untuk memperoleh kesempurnaan kewalian cara kenabian. Banyak orang yang terus pergi ke kewalian cara kenabian tanpa melalui cara kesufian, terutama pada zaman Rasulullah saw Para sahabat yang terus memasuki cara kenabian dan menetap di jalan tersebut tanpa memasuki cara sufi telah mencapai derajat kewalian yang paling tinggi dibandingkan dengan wali-wali pada semua zaman . Setelah Rasulullah saw, para sahabat adalah contoh yang paling baik untuk diikuti. Rasulullah saw telah mengasuh satu kelompok manusia sempurna yang bisa diikuti oleh kaum Muslimin yang datang kemudian.

Umat Islam umumnya telah lama keliru di dalam memahami maksud kewalian. Kewalian dan kesufian telah diikat kemas di dalam pemikiran sehingga timbul anggapan hanya orang sufi yang bisa menjadi wali. Orang yang menetap di Jalan syariat, beriman, beramal saleh dan bertakwa, jika tidak memasuki jalan kesufian tidak akan sampai ke makam kewalian. Orang-orang seperti Imam Syafi'i, Imam Malik, Imam Hanafi dan Imam Hanbali tidak disebut sebagai wali Allah. Apakah orang-orang yang dibimbing oleh Allah sehingga mereka mampu mengadakan mazhab yang diikuti oleh kebanyakan umat Islam, tidak termasuk ke dalam kelas wali Allah? Apakah orang yang dipimpin oleh Allah membentuk kelompok tarekat yang jauh lebih kecil dari kelompok mazhab lebih tinggi kewaliannya dari orang yang mempelopori mazhab yang besar?

Perlu diketahui bahwa orang yang memasuki aliran kesufian melalui dua tingkat kewalian. Kewalian tingkat pertama disebut wali kecil, yaitu kewalian cara sufi yang padanya terdapat praktek suluk, zauk, jazbah, fana, bersatu dengan Tuhan, baqa dengan Tuhan dan lain-lain bentuk pengalaman spiritual. Setelah menyelesaikan kewalian cara sufi mereka diangkat ke kewalian cara kenabian, derajat kewalian yang lebih sempurna. Di dalam daerah kewalian cara kenabian orang-orang sufi seperti Abdul Qadir Jilani, Hasan Basri, Ibrahim Adham dan banyak lagi bergabung dengan kelompok wali yang menetap pada cara kenabian seperti Imam Syafi'i, Imam Malik dan lain-lain. Semua wali-wali pada tingkat tersebut menjadi sesuai dengan perjalanan Nabi Muhammad saw, para sahabat beliau dan dengan syariat yang beliau bawa. Sayangnya tingkat kesesuaian orang sufi dengan syariat tidak menarik perhatian sebagian dari kaum muslimin yang berminat dengan aliran tarekat kesufian. Latihan kesufian lebih dikaitkan dengan kewalian. Kewalian Imam Syafi'i dan Imam Malik yang menetap pada cara kenabian dan terjadi dengan lebih teratur tidak menarik minat mereka. Dengan demikian ada Muslim yang sanggup melepaskan pendapat Imam Syafi'i yang mengandalkan al-Quran dan as-Sunnah, demi memegang kata wali sufi yang di dalam mabuk. Mereka juga lebih berpegang pada kata wali sufi yang sedang mabuk dari kata wali sufi yang sudah melewati tingkat mabuk. Konsep ketuhanan yang dinyatakan oleh al-Quran dan diajarkan oleh Rasulullah saw, dipegang oleh para sahabat dan kaum Muslimin umumnya tetapi ditolak oleh sebagian kaum muslimin yang terpengaruh dengan ucapan sufi yang latah. Mereka lebih terpengaruh dengan ucapan kelompok sufi yang terperangkap dengan bayangan dan misal.

Kesempurnaan sufi dicapai setelah melalui dua tingkat kewalian, yaitu kewalian cara sufi dan kewalian cara kenabian. Seorang sufi harus melalui proses menaik dan menurun. Di dalam proses naik sufi memasuki perjalanan menuju Allah yang kemudian membawanya ke perjalanan 'di dalam' Allah Puncak perjalanan ini adalah 'bersatu' dengan Allah, yang menjadi intisari dan tujuan perjalanan kewalian sufi. Di dalam proses naik sufi hanya berhubungan dengan Allah, tidak berhubungan dengan sesama makhluk. Sufi terpisah dari makhluk dan dirinya sendiri. Sufi mencapai fana dan bersatu dengan Tuhan. Pengalaman yang demikian membuat sufi memiliki satu bentuk pemahaman tentang ketuhanan.

Setelah menyelesaikan proses pertama sufi masuk ke proses kedua, yaitu proses menurun, menuju ke kesempurnaan kewalian dengan melalui jalan kenabian. Ketika menurun mental sufi mulai berpisah dari Tuhan. Sufi mulai menyaksikan perbedaan di antara Tuhan dengan hamba. Kesadaran sufi terhadap dirinya dan makhluk kembali dan akhirnya dia kembali ke kesadaran penuh. Proses kedua membentuk pemahaman dan pegangan yang berbeda dengan proses pertama. Pada proses pertama sufi dikuasai oleh pengaruh wahdatul wujud. Proses kedua memisahkan sufi dari efek wahdatul wujud itu. Sufi yang telah berpisah dengan paham wahdatul wujud mengakui perbedaan di antara Tuhan dengan hamba dan menerima kenyataan al-Qur'an bahwa tidak ada sesuatu yang serupa dengan Tuhan. Dua proses yang menghasilkan dua paham dan pegangan yang memungkinkan terjadi dalam perjalanan sufi.

Orang yang terus kepada cara kenabian tidak mengalami dua tingkat berbeda yang dilalui oleh pada cara kesufian. Pada jalan kenabian tidak terjadi pemutusan hubungan sesama manusia dan persatuan dengan Tuhan. Tidak ada kefanaan dan kelenyapan diri. Tidak ada zauk, jazbah, mabuk dan tidak terjadi ucapan latah. Pada jalan kenabian akal pikiran selalu dalam kondisi sadar. Bila tidak ada tingkat berpisah dengan makhluk tidak ada juga tingkat kembali kepada diri dan makhluk. Bila tidak ada proses bersatu dengan Tuhan tidak ada pula proses berpisah dengan Tuhan. Pengembara di jalan kenabian tidak dikuasai oleh keasyikan kepada Tuhan yang menyebabkan hilang pandangan terhadap diri sendiri dan makhluk. Mereka juga tidak dikuasai oleh nafsu terhadap makhluk sehingga melupakan Tuhan. Wali cara kenabian terhubung dengan Tuhan meskipun mereka sibuk melayani makhluk Tuhan. Hubungannya dengan Tuhan dan hubungannya dengan makhluk berjalan bersamaan tanpa gangguan. Tidak terjadi kontradiksi antara perhatian kepada Tuhan dengan perhatian kepada makhluk. Bagi wali yang berada pada jalan kenabian, melayani makhluk Tuhan sebenarnya adalah melayani Tuhan, berdasarkan ingatan dan perhatian kepada Tuhan karena Tuhan yang memerintahkan melakukannya. Dalam mengelola soal makhluk wali Allah sebenarnya melaksanakan kehendak Allah, bertindak sebagai khalifah atau wakil-Nya. Meskipun sibuk melayani orang banyak perhatiannya tetap tertuju kepada Allah dan mereka mengajak orang kepada Allah, taat kepada-Nya dan mendekati-Nya. Wali pada jalan kenabian melakukan pekerjaan yang mulia ditengah-tengah masyarakat. Allah ridha dengan praktek mereka dan mereka senang melakukannya. Wali yang di dalam daerah kenabian inilah yang menghubungkan pekerjaan Nabi Muhammad saw di dalam membimbing dan membawa umat manusia kepada Allah

Nabi Muhammad saw bertugas menyampaikan syariat kepada umat manusia. Wali-wali pada jalan kenabian dan wali sufi yang kembali ke jalan kenabian melanjutkan pekerjaan tersebut. Wali yang tidak keluar dari daerah kesufiannya tidak memperdulikan urusan disekelilingnya, tidak memperdulikan sekalipun terjadi kiamat. Wali-wali yang tinggal di daerah kesufian adalah mereka yang tidak diberi tugas. Wali-wali sufi yang dipilih dan diberi tugas akan dibawa ke daerah kewalian cara kenabian dan mereka melaksanakan tugas yang dipercayakan Allah kepada mereka. Tugas utama adalah menyampaikan syariat. Masyarakat dituntut menaati Nabi Muhammad saw di dalam menjalankan aturan syariat, bukan mengikuti cara atau praktek wali sufi. Di akhirat yang diperiksa adalah yang terkait dengan syariat. Latihan spiritual dan tasawuf juga diperiksa berdasarkan peraturan syariat. Ketaatan kepada syariat membawa seseorang ke surga dan pelanggaran kepada syariat membawa ke neraka. Nabi Muhammad saw dan wali-wali yang mengikuti beliau menyampaikan dan menerapkan syariat dan mereka bersedia untuk berkorban demi mengembang dan mempertahankan syariat.

Kelompok manusia yang paling mulia adalah Nabi-nabi. Tujuan diutus Nabi-nabi adalah untuk menyebarkan syariat. Pekerjaan menyebarkan syariat adalah pekerjaan yang paling mulia bisa dilakukan oleh seseorang manusia di atas muka bumi. Tidak ada pekerjaan yang lebih mulia darinya. Wali-wali yang menjadi pewaris Nabi melanjutkan pekerjaan tersebut. Hanya wali-wali yang telah kembali ke jalan kenabian yang bisa melakukan pekerjaan tersebut dengan baik dan tepat. Memimpin umat manusia ke jalan yang diridhai Allah adalah lebih baik daripada melakukan ibadah sendirian tanpa bercampur gaul dengan orang banyak. Ketika masyarakat dilanda oleh kerusakan akidah dan kerusakan akhlak, klaim menghidupkan syariat lebih besar lagi. Usaha menghidupkan satu peraturan syariat lebih berarti dari latihan spiritual yang hanya menguntungkan diri sendiri saja. Karena tujuan Allah memberi bimbingan kepada wali-wali untuk membimbing umat manusia, maka wali cara sufi yang mendapat petunjuk akan kembali ke cara kenabian serta melaksanakan tugas membimbing umat manusia ke jalan yang lurus. Ketaatan kepada syariat memelihara seseorang agar menempuh jalan yang lurus.
Kewalian pada jalan kenabian, kewalian para sahabat, tidak bercampur dengan suasana mabuk, tidak ada fana, bebas dari bayangan yang menghijab Yang Hakiki. Kewalian para sahabat memperoleh wusul atau bertemu Tuhan tanpa dihijabkan oleh gambaran misal yang dinisbahkan kepada Tuhan. Pertemuan di antara hamba dengan Tuhan terjadi secara jaga, sadar, bukan dalam suasana mabuk. Bila tidak diganggu oleh mabuk dan gambaran misal, hamba menyaksikan kehambaan dirinya dan hamba menyaksikan ketuhanan Tuhannya. Hamba menyaksikan Tuhan yang: " "- tidak sesuatu yang serupa dengan-Nya, bagaimana Dia dimisalkan oleh sesuatu. Wujud Tuhan dengan wujud hamba bisa dibedakan. Mata keyakinan wali pada jalan kenabian menyaksikan Tuhan Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi dari apa yang disifatkan, digambarkan dan dimisalkan. Temuan wali pada jalan kenabian sama dengan pernyataan Al-Quran dan pengajaran Rasulullah kewalian pada jalan kenabian itulah yang benar-benar bertemu dengan Yang Haq. Kapan Yang Hakiki ditemukan seseorang itu bebas dari atraksi keasyikan kepada nyanyian dan tarian, bebas dari mabuk dan pengaruh wahdatul wujud. Tidak terjadi tajalliyat, tidak ada gangguan bayangan dan misalan dan lain-lain yang biasa ditemukan pada jalan kesufian. Sebab itu perilaku ganjil yang biasa menyerang orang sufi tidak ditemukan terjadi pada para sahabat Rasulullah saw kewalian para sahabat melahirkan kecintaan kepada Allah secara ketaatan dengan penuh kerelaan pada landasan kehambaan yang sebenarnya.

Tajalliyat, apakah terjadi dalam bentuk, atau di bawah hijab cahaya dan warna, terjadi pada kewalian sufi terutama pada awal perjalanan. Penjelmaan dan tajalliyat adalah bayangan kepada Yang Haq. Tajalli dan penyaksian tertuju kepada bayangan. Orang yang menolak bayangan bebas dari tajalliyat. Orang yang memasuki jalan kenabian bebas dari tajalliyat tetapi jika dia sampai ke jalan kenabian melalui jalan kesufian, pengalaman tajalliyat ditemuinya.

Orang yang memasuki jalan kesufian bekerja untuk menghapus semua kehendak. Pada jalan kenabian penghapusan kehendak tidak dituntut. jalan kenabian mengakui bahwa kehendak yang asli adalah baik. Kehendak menjadi jahat saat diarahkan ke bahan-bahan dan hal-hal jahat. Jadi, bahan dan hal jahat yang harus dihapus dari kehendak, bukan kehendak itu sendiri secara keseluruhan. Kehendak perlu diarahkan ke sesuatu yang baik menurut petunjuk syariat. Syariat telah menggariskan batas yang baik dan yang jahat. Pengembara di jalan kenabian diinginkan menjaga dan mengontrol kehendak agar tidak keluar dari daerah yang baik.

Selain penghapusan keinginan, orang yang memasuki jalan kesufian juga menghapus sifat-sifat kemanusiaannya. Pada jalan kenabian pula syariat memisahkan sifat kemanusiaan yang baik dari yang jahat. Orang yang memasuki jalan kenabian hanya perlu menghapus sifat yang jahat dan keji, tidak perlu menghapus kemanusiaan keseluruhan. Pada kewalian sufi tersedia penyangkalan perbuatan diri sendiri, sifat-sifat diri sendiri dan eksistensi diri sendiri. Semua hal dan segala sesuatu diisbatkan kepada Allah semata. Hal atau suasana penyangkalan diri merupakan fitur kefanaan. Orang yang terus ke jalan kenabian tidak terlibat dengan penyangkalan diri, sifat dan perbuatan, tetapi jika dia sampai ke jalan kenabian melalui jalan kesufian dia mengalami juga hal yang demikian.

Kewalian pada jalan kesufian disebut wali kecil dan ia tertutup oleh bayang-bayang yang bercampur dengan hal-hal yang tidak jelas dan samar-samar. Wali pada jalan kenabian, termasuk wali yang telah melewati jalan kesufian dan memasuki jalan kenabian, adalah lebih sempurna. Jalannya, fahamannya, pegangannya dan tindak-tanduknya lebih jelas, pasti dan nyata. Wali di jalan kesufian gemar menggunakan istilah yang aneh-aneh dan tidak jelas maksudnya. Mereka suka mengadakan uraian secara berteka-teki yang sulit dimengerti maksudnya. Argumen mereka banyak bersandar pada pengalaman spiritual seperti zauk dan kasyaf tanpa mengacu pada sumber yang lebih kuat yaitu al-Qur'an, as-Sunah ijmak ulama. Wali pada jalan kenabian selalu bersikap rasional, bersandar pada sumber yang muktabar dan bisa diterima oleh akal sehat. Bila wali sufi meningkat dan sampai ke kewalian cara kenabian dia akan meninggalkan daerah yang kesamaran dan meragukan. Dia akan bergabung dengan wali-wali cara kenabian yang lain di dalam mengembangkan syiar agama Islam menurut ajaran al-Qur'an, as-Sunnah dan mufakat ulama.
kewalian PADA JALAN kenabian dan kewalian PADA JALAN kesufian
Ada banyak perbedaan dari segi pengalaman, penyaksian, pemahaman dan pegangan di antara pengembara di jalan kesufian dengan pengembara di jalan kenabian. Kewalian sufi diliputi oleh bayangan yang menyatakan sebagai tajalli-tajalli, sedangkan ia adalah hijab kepada Yang Haq. Kewalian sufi memasuki suasana menyaksikan bentuk, cahaya dan warna. Cinta yang menguasai kewalian sufi adalah cinta yang mengasyikkan dan memabukkan, menghilangkan rasional. Kewalian pada jalan kenabian atau kewalian para sahabat Rasulullah saw tidak melalui suasana tajalli dan penyaksian kepada bentuk, cahaya dan warna. Pada jalan kenabian, cinta para sahabat kepada Allah menyatakan sebagai ketaatan yang sejati berlandaskan kehambaan yang sebenarnya. Kewalian sufi berpisah dari dunia dan akhirat. Pada kewalian para sahabat pula, dunia dan akhirat menjadi daerah kekhalifahan mereka. Mereka bertanggung-jawab kepada kehidupan dunia dan mereka bekerja untuk keselamatan di akhirat.
Jarak dengan Tuhan pada kewalian sufi bercampur dengan unsur bayangan dan ada hijab padanya. Penyaksian sufi sering berfokus pada bentuk-bentuk misal yang dinisbahkan kepada Tuhan. Orang sufi biasa mengatakan mereka melihat Tuhan sebagai cuaca subuh atau sebagai satu bentuk atau satu warna. Gambaran misal itu menjadi hijab yang menutupi penyaksian terhadap Allah yang tidak berupa, tidak berbentuk, tidak berwarna, tidak bercahaya dan tidak ada sesuatu yang menyerupai-Nya: " . Pada kewalian ada husul yaitu sampai kepada Tuhan. Pada husul ada hijab atau bayangan yaitu gambaran misal, dan orang yang memasuki tingkat husul menyatu dengan bayangan atau misal yang dinisbahkan kepada Tuhan, apakah misal itu cahaya, warna, dirinya sendiri atau apa saja. Penyatuan dengan hijab atau misal ketuhanan itu dirasakan sebagai bersatu dengan Zat Tuhan. Jadi melalui husul perbedaan di antara hamba dengan Tuhan dihapus. Hamba dengan Tuhan dipertemukan pada satu wujud dan dinamakan wahdatul wujud. Wahdatul wujud hanyalah bayangan, bukan Yang Haq. Kemabukan ketika dilambung gelombang kefanaan yang menghasilkannya. Yang Hakiki hanya ditemukan setelah meninggalkan tingkat fana dan mabuk.
Nabi Muhammad saw, mahaguru yang paling arif, pembimbing yang paling bijaksana, telah mengasuh satu kelompok Muslim untuk memikul tugas berat membimbing umat manusia. Para pembimbing yang diasuh oleh Rasulullah saw merupakan kelompok pembimbing yang paling baik di antara yang melakukan tugas tersebut. Setelah Rasulullah wafat, matahari yang mengeluarkan cahaya petunjuk mulai condong, awan mendung mulai berarak, muncullah bayang menghijab perjalanan. Semakin lama Rasulullah saw meninggalkan dunia ini semakin kurang dampak dan pengaruh yang mampu dihasilkan oleh seseorang pembimbing. Orang telah mengalami kesulitan di dalam mendapatkan bimbingan menuju ke Yang Haq. Sifat-sifat siddik, amanah, tabligh dan fatanah yang ada dengan orang-orang yang seharusnya menjadi pembimbing sudah sangat berkurang. Ilmu yang mereka sampai tidak lagi mampu membuka pintu akal dan pintu hati. Dalam kondisi yang demikian orang yang benar-benar menemukan Yang Haq hilang keyakinan kepada mereka yang mengemban tugas sebagai pembimbing di dalam masyarakat. Pencari kebenaran, setelah gagal memperoleh yang di cari melalui anggota ilmu, telah kembali ke fitrahnya sendiri. Orang yang kembali kepada fitrahnya melihat satu-satunya jalan yang memberi harapan kepadanya adalah memulai perjalanan seperti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw ketika dunia diselubungi oleh kegelapan akidah dan akhlak dahulu. Orang ini memilih jalan sendirian, berkhalwat di tempat yang tidak dikunjungi oleh manusia. Meskipun lari dari manusia tetapi orang fitrah itu membawa pusaka yang ditinggalkan oleh Rasulullah saw yaitu al-Quran dan as-Sunnah. Di dalam suasana sendirian itulah dia melakukan praktek yang diajarkan oleh al-Quran dan as-Sunnah berhubungan dengan bidang perhubungan hamba dengan Tuhan. Dalam suasana yang demikian, tidak ada hubungan sesama manusia. Aspek ini ditinggalkan.

Jalan fitrah yang diterokai oleh kelompok manusia yang memisahkan diri itu menjadi dasar jalan yang kemudian hari dikenal sebagai jalan kesufian. Pendiri aliran sufi adalah manusia fitrah yang hidup di dalam masyarakat yang penuh dengan kegelapan, kebingungan dan ketidak-pastian. Mereka lari dari kegelapan, kebingungan dan ketidak-pastian itu sebagaimana Rasulullah lari dari suasana jahiliyah dahulu. Manusia fitrah yang tinggal sendirian itu melakukan praktek yang diajarkan oleh Rasul, shalat, berpuasa, berzikir dan lain-lain. Amalan mereka tidak bertentangan dengan syariat, cuma bidang syariat yang ada hubungan dengan masyarakat tidak dilakukan. Praktek cara yang demikian kemudian harinya disebut suluk.

Manusia fitrah yang hidup di dalam masyarakat yang penuh dengan kegelapan jahiliyah akan merasakan tekanan dan kegelisahan pada jiwanya. Jalan keluar bagi orang yang seperti ini adalah mengasingkan diri di tempat yang jauh dari orang banyak dan menghabiskan waktunya dengan menyembah Allah Sebagian dari kaum yang memilih jalan mengasingkan diri akan terus menerus berada di dalam kondisi demikian sementara sebagiannya pula kembali ke masyarakat setelah rohani mereka mencapai kematangan. Orang yang memasuki jalan sendirian terus menerus berada pada jalan kesufian dan yang kembali ke masyarakat adalah orang sufi yang berpindah dari jalan kesufian ke jalan kenabian. Orang yang kembali ke jalan kenabian lebih sempurna perjalanannya dan dari golongan inilah muncul kader yang membimbing umat manusia ke jalan Allah Kebanyakan sufi yang telah matang kembali ke jalan kenabian. Abdul Qadir Jilani, Ibrahim Adham, Junaid, Hasan Basri dan banyak lagi merupakan sufi yang kembali ke jalan kenabian setelah menyelesaikan jalan kesufian. Mereka adalah ahli sufi yang mengikuti jalan kenabian. Sufi yang kembali ke jalan kenabian ini memiliki kepribadian yang kuat dan percampuran dengan masyarakat tidak lagi memberi tekanan kepada jiwa mereka, bahkan mereka mampu membimbing orang lain untuk berjalan ke Yang Haq. Bagi orang yang seperti ini petualangan di jalan kesufian merupakan bagian dari latihan memantapkan kerohaniannya untuk melaksanakan tugas sebagai khalifah Allah di bumi. Kelompok tersebut adalah orang yang menjadi pilihan Allah dalam menegakkan syariat-Nya di atas muka bumi dan memimpin umat manusia ke jalan lurus yang sebenarnya.

Tingkat kewalian pada jalan kesufian berbeda dengan tingkat kewalian pada jalan kenabian. Kewalian sufi masuk ke suasana meninggalkan semua makhluk dan membenamkan memori secara terus menerus kepada Allah kewalian sufi bergerak menghapus kehendak diri sendiri dan sifat-sifat kemanusiaan. Sebutan dan ingatan yang terus menerus kepada Allah membawa sufi fana diri atau melupakan diri sendiri. Di dalam fana sufi memperoleh jazbah yaitu pengalaman yang berkaitan dengan suasana ketuhanan. Setelah melewati tingkat fana sufi sampai ke tingkat baqa atau kekal bersama Allah Di dalam menuju baqa, pada tingkat fana yang paling tinggi sufi hilang kesadaran diri sepenuhnya. Wujudnya hilang dari pandangan dan perasaannya. Hanya Wujud Allah saja yang menguasainya. Pada tingkat tersebut sufi mengalami apa yang diistilahkan sebagai wahdatul wujud, di mana ada hamba dengan Wujud Tuhan tidak lagi berbeda pada alam perasaan sufi. Suasana demikian diperoleh akibat didorong oleh rasa kecintaan kepada Allah secara asyik mahsyuk yang bersangatan dan pada waktu yang sama kesadaran terhadap diri sendiri hilang. Pengalaman wahdatul wujud menimbulkan apa yang diistilahkan sebagai mabuk. Sufi hanya melihat ke Wujud Tuhan, tidak lagi pada wujud dirinya dan sekalian ada yang selain Tuhan. Bila keberadaan diri sendiri hilang dari alam perasaan sufi sering mengucapkan kata yang diistilahkan sebagai latah seperti pengakuan bahwa dirinya adalah Tuhan atau Tuhan yang menjadi bakat dirinya.

Kebanyakan sufi sangat mementingkan pengalaman bersatu dengan Tuhan. Mereka menjalani latihan yang berat-berat untuk menghilangkan kesadaran terhadap diri sendiri, yaitu mencapai fana dan dikuasai oleh kecintaan kepada Allah yang mengasyikkan. Untuk memperoleh yang demikian sufi harus menghapus semua keinginannya, sifatnya dan identitas dirinya secara menyeluruh. Pekerjaan yang demikian sangat berat, perlu dilakukan latihan menindas jasad. Latihan yang berbahaya dan luar biasa terkenal di kalangan para sufi di dalam proses meleburkan kedirian mereka. Latihan yang demikian membawa sufi melupakan dunia dan akhirat.

Orang sufi percaya rohnya adalah Roh yang dari Allah, yang suci bersih. Roh yang suci itu dipenjarakan oleh jasad. Sufi merasa berkewajiban membebaskan rohnya dari penjara jasad dan mencapai tujuan yaitu bersatu dengan Tuhan. Dengan demikian sufi mengistiharkan perang terhadap jasad dengan cara menindas kebutuhan jasad seperti makan, minum, tidur, tutur-kata, pergaulan dan sebagainya. Selagi rohaninya tidak bebas dari pengaruh jasad sufi tidak akan merasa aman. Sikap penindasan terhadap jasad ini menimbulkan kegelisahan, kehangatan dan kemarahan di dalam roh haiwaninya yang menghubungkan rohnya dengan jasad. Tindak-kritik dari roh hewani itu sering menimbulkan sikap kasar dan agressif pada orang sufi, terutama untuk mereka yang berada pada tingkat awal melatihkan diri. Setelah dapat menguasai tingkat roh hewani sufi akan bertahap menjadi tenang dan kesadaran pancainderanya mengecil sampai hilang terus. Dia mencapai jarak dengan Tuhan dan seterusnya memasuki suasana bersatu dengan-Nya. Barulah sufi merasakan kerihatan dari jihadnya terhadap jasad.

Jalan yang ditempuh itu menyebabkan sufi gemar kepada yang indah-indah, mendengar suara yang merdu, lagu-lagu kasih, puisi dan cerita-cerita percintaan. Sebagian dari para sufi terbawa ke berzikir secara menyanyi dan menari sambil diiringi oleh musik. Kondisi yang demikian menambah rasa kecintaan mereka kepada Allah dan mengobati kerinduan mereka kepada-Nya. Kerinduan kepada Tuhan sangat menekan jiwa dan menimbulkan kegelisahan yang amat sangat. Aktivitas yang mengasyikkan dapat meredakan tekanan dan kegelisahan tersebut. Perjalanan yang demikian menyebabkan timbul sikap kasar dan tidak terkendali di kalangan sebagian sufi, selama kecintaan kepada Tuhan belum mereka kuasai dan kerinduan kepada-Nya belum terobati. Kerinduan dan keasyikan menyebabkan sufi lupa bukan saja kepada diri dan makhluk, bahkan sering juga terjadi peraturan syariat dan etika moral tidak diambil berat oleh sebagian mereka. Sebagian sufi masih melakukan peraturan syariat tetapi semata-mata karena menghormati syariat Tuhan bukan karena menghayati peraturan tersebut.

Para sufi yang bersungguh-sungguh dengan latihan spiritual mereka, setelah memperoleh keasyikan, akan masuk ke dalam suasana kebatinan di mana mereka menyaksikan rupa, bentuk, cahaya dan warna. Pengalaman yang demikian banyak terjadi pada awal perjalanan sufi. Penyaksian yang demikian sangat menggembirakan mereka, menambahkan keyakinan dan semangat untuk maju terus. Oleh karena penyaksian tersebut terjadi di dalam suasana kebatinan yang gaib, sufi mudah menghubungkan yang disaksikan itu dengan Allah Timbullah konsep ketuhanan yang tidak jelas dan menyesatkan.

Penghujung jalan para asyikin adalah bersatu dengan Tuhan. Sufi mengalami kefanaan, dirinya hilang dia berkamil dengan Tuhan. Dia dikuasai oleh suasana ketuhanan. Pada tingkat ini sering terjadi ucapan latah seperti: "Ana al-Haq!" Ucapan latah yang menempatkan ketuhanan pada diri itu terjadi pada sufi ketika kesadaran terhadap diri sendiri lenyap. Suasana yang demikian diistilahkan sebagai mabuk. Dalam suasana yang demikian hubungan hati orang sufi dengan Tuhan sangat erat. Dia telah melepaskan segalanya demi Tuhannya. Dia telah membuang makhluk dan dirinya demi kecintaannya kepada Tuhan. Gelombang kefanaan yang melanda hati sufi itu mengubah suasana kebatinannya menyebabkan sering muncul keajaiban dari dirinya, doanya cepat dikabulkan, kata menjadi kenyataan, dia bisa melakukan hal yang luar biasa seperti berjalan di atas air atau masuk ke dalam api. Hasilnya bertambah teguhlah keyakinannya terhadap apa yang dipegangnya.

Hal luar biasa yang muncul dari sufi yang di dalam zauk itu menyebabkan orang menjadi percaya kepada apa yang sufi itu iktikadkan. Sufi yang di dalam kefanaan diri menyaksikan satu wujud lalu mengatakan tentang. Muncullah paham wahdatul wujud. Orang yang melihat keajaiban pada sufi itu dengan mudah menerima paham wahdatul wujud yang dipegang oleh sufi itu. Sufi membangun paham wahdatul wujud melalui pengalaman kerohaniannya, melalui penyaksian mata hatinya. Dia mengalami sendiri suasana semua ada hilang dan hanya satu ada saja yang menyata. Orang pula berpegang pada paham wahdatul wujud secara ikut-ikutan, tanpa mengalaminya dan tanpa benar-benar mengerti tentang. Pegangan sufi dibentuk melalui pengalaman rasa sementara orang lain melalui khayalan dan asumsi. Sufi yang mengatakan atau melakukan sesuatu yang melanggar syariat, bertentangan dengan kata al-Qur'an dan perkataan Rasulullah saw ketika dia dikuasai oleh hal atau mabuk, bisa dimaafkan karena dia melakukannya tanpa kesadaran. Orang lain yang di dalam kesadaran biasa yang mengikuti orang sufi secara meniru-niru perlu diberi penjelasan bahwa perbuatan mereka adalah sesat dan kufur.

Pengalaman wahdatul wujud adalah umpama bayangan yang muncul akibat awan mendung menutupi sinar matahari. Setelah awan berlalu bayangan pun hilang. Orang sufi yang berjalan terus akan melewati tingkat bayangan tersebut. Paham wahdatul wujud ditinggalkan di belakang dan dia masuk ke jalan kenabian, berpegang teguh kepada al-Quran dan as-Sunnah. Kebenaran yang sejati terletak dalam al-Quran dan as-Sunnah bukan pada zauk, jazbah dan mabuk. Dengan demikian orang sufi yang belum melewati suasana mabuk dilarang keras bercampur gaul dengan masyarakat dan menyampaikan gagasan yang terbentuk ketika mabuk.
Nabi Muhammad saw adalah sebaik-baik pemberian, sebaik-baik pembimbing. Beliau mampu menyampaikan menurut tingkat akal dan suasana kebatinan seseorang. Filsuf mampu menerima pengajaran beliau dan ahli spiritual juga mampu menerimanya. Orang yang semata-mata bertaklid kepada beliau juga mampu menerima pengajaran beliau Apa yang beliau ajarkan akan terhunjam ke dalam akal pikiran dan hati nurani seseorang. Kalam yang keluar dari mulut beliau menanamkan pengertian pada akal dan penghayatan pada jiwa. Ketika beliau mengajarkan ayat-ayat al-Quran, maksud yang sebenarnya dari ayat-ayat tersebut akan terpahat di pikiran dan hati sahabat-sahabat beliau Meskipun beliau menyampaikan melalui kata dan perbuatan tetapi beliau juga mampu berkomunikasi secara langsung dengan akal dan hati nurani. Perbuatan dan perkataan beliau bertindak sebagai kunci yang membuka tabir hijab yang menutupi akal dan hati. Mata akal dan mata hati menjadi melek saat menerima sentuhan kata dan perbuatan beliau Para sahabat yang menerima pengajaran langsung dari beliau akan mengalami perubahan dengan mudah, sesuai dengan apa yang beliau ajarkan. Setelah beliau selesai membaca ayat yang mengharamkan arak maka pada saat itu juga para sahabat beliau membuang kebiasaan meminum arak. Setelah beliau selesai menyampaikan perintah shalat fardu lima waktu sehari semalam, maka pada saat itu juga para sahabat beliau masuk ke dalam arus shalat fardu lima waktu sehari semalam. Ketika beliau menyampaikan kewajiban berpuasa pada bulan Ramdhan, maka pada bulan Ramdhan tahun itu juga para sahabat beliau melakukan kewajibannya puasa. Ketika beliau menunjuk perwakilan untuk menyampaikan surat-surat kepada semua penguasa umat manusia di sekitar Semenanjung Arab, maka dengan rela mereka menjalankan tugas tersebut tanpa menghiraukan mereka akan dibunuh atau tidak dalam melaksanakan tugas tersebut. Ketika beliau membacakan ayat tentang Allah, maka pada saat itu juga para sahabat mengenal Allah Sesungguhnya Nabi Muhammad saw memancarkan nur yang menerangi akal dan hati manusia.
Kemampuan beliau yang luar biasa menembus akal dan hati manusia itu adalah karena beliau dilengkapi dengan sifat-sifat siddik, amanah, tabligh dan fatanah. Beliau membawa dan menyampaikan yang benar, tidak menyembunyikan, tidak mengubah kebenaran dan disampaikan dengan penuh kebijaksanaan. Bila datang yang benar maka yang batal akan menyingkir. Cahaya kebenaran yang dipancarkan oleh Nabi Muhammad saw mengusir kegelapan yang menutupi akal dan hati. Kekuatan cahaya kebenaran yang bisa dipancarkan oleh seseorang pembimbing adalah tergantung pada sejauh mana kesempurnaan sifat-sifat siddik, amanah, tabligh dan fatanah yang dimilikinya. Sifat-sifat tersebut dimiliki oleh Nabi Muhammad saw pada tingkat kesempurnaan tertinggi, paling kuat dan paling sempurna. Dengan demikian beliau meninggalkan kesan yang paling maksimal di dalam penyampaian beliau Beliau mampu menyampaikan sesuatu dengan menggunakan kata paling mudah dan paling sederhana tetapi memberi pengertian yang sangat luas dan efek yang sangat mendalam kepada pendengarnya. Selama beliau berdakwah 13 tahun di Makkah dan 10 tahun di Madinah, beliau menyampaikan 6,666 ayat al-Qur'an dan kata-kata beliau yang dikumpulkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal berjumlah 40.000, dengan kata-kata yang hanya sebanyak itu selama 23 tahun beliau saw sudah menyampaikan dengan lengkap satu agama yang mencangkupi seluruh kehidupan dunia dan akhirat, yang mampu bertahan hingga hari kiamat. Pekerjaan yang begitu besar dan bidang yang begitu luas beliau sempurnakan dengan tutur-kata yang sangat sedikit. Kemampuan Nabi Muhammad saw itu tidak mungkin dapat ditantang oleh siapa pun, walau pada zaman mana sekalipun.
Orang yang meminati bidang kerohanian, tasawuf dan tarekat biasanya tertarik pada soal kewalian. Kewalian biasanya dihubungkan dengan jalan kesufian. Ketika kita membicarakan wali-wali Allah maka nama-nama mereka yang memasuki jalan kesufian sering ditonjolkan. Orang-orang seperti Syeikh Abdul Qadir Jilani, Ibrahim bin Adham, Hasan Basri, Junaid, Rabiatul Adawiah dan lain-lain orang sufi biasanya terdaftar sebagai wali-wali Allah. Mengaitkan kewalian secara khusus dengan kesufian semata-mata telah menimbulkan banyak kebingungan dan merugikan umat Islam sendiri. Ketika nama-nama sufi sering ditonjolkan sebagai wali Allah, timbullah anggapan bahwa hanya dengan memasuki jalan kesufian seseorang itu bisa mencapai makam kewalian. Kewalian pada jalan kenabian tidak ditonjolkan. Pemahaman tentang kewalian harus diperbaiki. Haruslah diketahui bahwa orang yang menerima Islam secara langsung dari Rasulullah saw adalah wali Allah. Wali-wali Allah yang sezaman dengan Rasulullah saw, mendengarkan pengajaran dari beliau sendiri, melihat wajah beliau, mendengar tutur-kata beliau, makan bersama-sama beliau, berperang di samping beliau, adalah wali-wali Allah tingkat paling tinggi . Tidak ada kewalian yang lebih tinggi dari kewalian para sahabat Rasulullah saw kewalian yang muncul setelah sahabat, termasuk kewalian para sufi tidak melebihi kewalian para sahabat. Di dalam daftar nama-nama wali Allah tingkat tertinggi yang sezaman dengan Rasulullah saw, mendahuluinya adalah orang-orang seperti Abu Bakar as-Siddik, Umar al-Khaththab, Utsman bin Affan, Ali bin Abu Thalib, Zahid bin Harisah, Zubair bin Awam, Abdul Rahman bin Auf, Saad bin Abu Waqqas, Thalhah bin Ubaidillah, Al-Arqam bin Arqam, Yasir dan anak-anaknya Amar dan Abdullah, Samyah istri Yasir, Bilal bin Rabah, Ja'far bin Abu Thalib, Muaz bin Jabar, Abdullah bin Rawahah, Said bin Muaz, Dihyah bin Khalifah al-Kalbi yang Jibril as pernah muncul dalam rupanya, Saad bin Ubada dan banyak lagi yang termasuk dalam daftar wali-wali Allah tingkat tertinggi yang tidak ada wali pada zaman kemudian mengatasi posisi mereka. Setelah selesai daftar nama para sahabat itu barulah datang nama-nama wali-wali yang datang kemudian seperti Abdul Qadir Jilani dan lain-lain.

Memasukkan nama para sufi saja di dalam daftar wali-wali yang datang kemudian merupakan kekeliruan yang nyata dan ia adalah sikap yang tidak adil kepada kewalian itu sendiri. Masyarakat jangan lupa untuk melihat kewalian orang-orang yang tinggal di jalan kenabian seperti Imam Syafi'i, Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Nawawi, Imam Ghazali dan lain-lain. Harus juga diperhatikan anggota ilmu yang telah banyak berkontribusi kepada umat manusia dalam bidang kedokteran, kimia, filsafat, astronomi dan lain-lain. Apakah tidak layak orang yang seperti Ibnu Rusyd dan Jamaluddin al-Afghani disebut wali Allah?

Wali-wali di tingkat paling atas adalah sahabat-sahabat Rasulullah saw, termasuk syuhada di Badar. Mereka telah mendapat pengakuan dan sanjungan dari al-Quran dan didukung oleh Rasulullah saw sendiri. Kata al-Quran dan Rasulullah saw adalah final. Wali-wali yang datang kemudian posisi mereka diperbesar oleh manusia sendiri, bukan pernyataan langsung oleh Rasulullah saw Para sahabat adalah wali-wali yang lebih utama dari wali yang datang kemudian apakah dari jalan kesufian atau pun dari jalan kenabian. Kenyataan ini harus dihunjam ke dalam pikiran umat Islam yang keliru dengan posisi kewalian. Banyak kaum Muslim meninggalkan kata wali-wali tingkat tertinggi dan berpegang pada kata wali yang lebih rendah atau orang yang tidak sahih kewaliannya.

Meskipun istilah wali tidak populer digunakan pada zaman Rasulullah saw tetapi kewalian para sahabat tidak bisa dinafikan. Sebagian dari mereka telah disebut nama mereka dengan shahih oleh Rasulullah saw sebagai ahli surga. Beliau juga menjamin bahwa siapapun yang mengikuti mana-mana sahabat beliau sesungguhnya orang itu telah mengikuti yang benar. Wali-wali seperti Imam Syafi'i dan Imam Malik merupakan yang terdekat jalan mereka dengan jalan para sahabat Rasulullah saw Karena itu kata mereka lebih kuat dan lebih kokoh dari kata wali-wali yang bukan berada pada jalan kenabian. Sangat tidak wajar Muslim membuang kata Imam Syafi'i karena terpengaruh dengan kata zauk Abu Mansur al-Hallaj. Jalan yang ditempuh oleh Abu Mansur yang ada zauk, fana dan jazbah itu dinamakan jalan kesufian.
Para sahabat Rasulullah saw adalah kelompok Muslim yang paling beruntung karena Rasulullah saw di tengah-tengah mereka. Mereka menerima pengajaran wahyu langsung dari beliau Mereka adalah suku yang paling diberkati Allah karena Dia karuniakan kepada mereka cahaya (Nur) Nabi Muhammad saw secara langsung, tanpa dihijab oleh ruang, zaman atau waktu. Apa yang mereka peroleh dari Nur Muhammad saw adalah yang paling benar dan asli pada tingkat maksimum. Jika Nabi Muhammad saw diibaratkan sebagai matahari, maka para sahabat menerima pancaran matahari ketika ia berdiri tegak tanpa segumpal awan pun melindunginya. Umat yang di belakang pula adalah umpama orang yang menerima pancaran cahaya matahari ketika ia telah condong ke barat dan ketika awan mendung sudah berarak dipermukaan langit.
Muslim yang menerima tarekat secara langsung dari Rasulullah saw menetap di atas jalan kehambaan dan kesadaran. Wahyu yang disampaikan oleh Rasulullah saw secara langsung membakar sifat-sifat keji para sahabat tanpa membakar identitas mereka. Mereka mengikuti tingkah-laku Rasulullah saw dengan keras untuk memakai sifat-sifat benar, amanah, menyampaikan dan bijaksana. Mereka berusaha menyesuaikan diri dengan Rasulullah saw karena beliau adalah model yang Allah kirim untuk diteladani. Bila jalan yang demikian diikuti maka para sahabat menjadi duta-duta kepada Rasulullah saw, cermin yang membalikkan cahaya Nabi Muhammad saw dan penyambung lidah Nabi Muhammad saw Cara yang demikian meneguhkan iman pada landasan kehambaan. Tidak ada percobaan untuk membuang kehambaan dan menjadi Tuhan. Tidak ada pengalaman spiritual yang memabukkan. Banyak dari pengalaman yang aneh-aneh yang dialami oleh para sufi yang datang kemudian, tidak dialami oleh para sahabat Rasulullah saw Golongan yang menjalani tarekat yang diterima secara langsung dari Rasulullah saw tidak mengalami atau jarang terjadi pengalaman dan penyaksian terhadap tajalli-tajalli, warna dan cahaya . Pengalaman yang demikian tidak terjadi di awal sahabat menerima Islam dan tidak juga di tingkat akhir. Pengalaman yang demikian tidak terjadi karena 'matahari' kenabian tidak ditutup oleh awan mendung keraguan dan syak wasangka yang biasa dikeluarkan oleh akal pikiran. Pengembara di jalan kenabian yaitu tarekat para sahabat tidak terpukau dengan tajalli dan tidak tertarik dengan bayangan. Tajalli dan bayangan adalah fenomena yang timbul selama awan mendung menutupi cahaya matahari yang asli. Setelah awan mendung berlalu muncullah cahaya yang terang benderang, tanpa rupa, tanpa warna dan bayangan juga hilang.

Para sahabat yang mengikuti jalan kenabian sangat mencintai akhirat. Keluarga Yasir yang sedang hebat menderita disiksa oleh orang Banu Makhzum, menjadi tenang saat menerima jaminan surga dari Rasulullah saw surga yang dijanjikan itu memberi semangat dan kekuatan kepada keluarga Yasir. Kecintaan mereka kepada akhirat lahir dari kecintaan mereka kepada Allah yang berjanji untuk memperlihatkan Diri-Nya di akhirat kelak. Mereka tidak meninggalkan akhirat atau pun dunia karena kecintaan mereka kepada Allah Kecintaan kepada Allah yang disertai oleh kecintaan kepada akhirat dan dunia tidak menggoncangkan iman dan pegangan tauhid mereka.

Apa yang dilakukan oleh kaum musyrikin bukanlah memaksa Muslim menyangkal ketuhanan Allah, tetapi mereka mau diadakan sekutu bagi Allah Kaum Muslimin yang hati mereka sudah dipenuhi oleh kecintaan kepada Allah tidak mau mempersekutukan Allah dengan sesuatu. Inilah prinsip menyintai Allah yang berdasarkan iman, yang dibentuk melalui jalan kenabian. Cinta yang demikian diperkuat dengan kecintaan kepada akhirat dan surga. Surga diinginkan karena surga adalah tempat pertemuan sebenarnya hamba dengan Tuhan. Allah mendorong hamba-Nya mencintai akhirat dan surga di samping benar dalam mencintai-Nya dan Rasul-Nya. Cinta yang berdasarkan kepada iman itu juga tidak memisahkan seseorang dari dunia.

Tujuan manusia diciptakan adalah untuk mereka mengabdikan diri kepada Tuhan dengan cara menjadi khalifah di bumi, di dalam dunia. Manusia sebagai khalifah atau wakil Tuhan berkewajiban memakmurkan kehidupan di dalam dunia ini, menerapkan peraturan dan kehendak Allah Dunia adalah daerah kekhalifahan manusia. Dunia adalah kebun buat manusia bercocok tanam. Dunia adalah tempat buat manusia bekerja sebagai hamba Tuhan. Dunia adalah amanah yang Tuhan pertanggungjawabkan kepada makhluk berbangsa manusia. Cinta kepada Allah yang berdasarkan iman mendorong seseorang manusia memenuhi tugas dan kewajibannya di dalam dunia. Tugas yang sangat penting di dalam dunia adalah menyuruh yang makruf dan mencegah yang munkar dan semuanya itu harus dibuat berlandaskan kepada tauhid.

Pada jalan kenabian yang diikuti oleh para sahabat, kesungguhan digembelingkan ke arah mematuhi peraturan syariat. Mereka meyakini syariat dengan sepenuh jiwa raga dan bersedia untuk mempertahankan syariat dengan segala kemampuan yang mereka ada. Rasulullah saw menolak permintaan kelompok Taqif yang datang dari Taif, agar berhala mereka tidak dihancurkan dalam tempuh satu tahun dari masa mereka mulai menerima Islam dan mereka juga meminta dibebaskan dari melakukan shalat lima waktu. Agama Tauhid tidak bisa toleran dengan berhala. Tentang shalat pula beliau bersabda: "Tidak ada Islam tanpa shalat." Tentara Islam menyeberangi padang pasir, memikul senjata, berperang, membunuh dan dibunuh, semuanya dilakukan dengan membawa aturan syariat, termasuk shalat lima waktu. Setelah kewafatan Rasulullah saw, Khalifah Abu Bakar as-Siddik memerangi kelompok Islam yang enggan mengeluarkan zakat. Syariat dipegang ketika Muhamad masih hidup dan juga setelah kewafatan beliau Kaum Muslimin berkewajiban menanggung syariat sehingga ke akhir hayat mereka. Tidak ada batas atau makam di mana seseorang bebas dari tuntutan syariat. Rasulullah saw sendiri pun terikat dengan tuntutan syariat, bahkan kesungguhan beliau bersyariat melebihi orang lain.

Orang yang memasuki jalan kenabian adalah hamba yang Allah pimpin kepada-Nya. Jalan tersebut sudah dilalui oleh para anbia, shiddiqin dan salihin. Pada jalan tersebut sesuatu adalah terang dan jelas, tidak kesamaran. Klaim pada jalan ini adalah syariat, tidak perlu melakukan latihan yang berat, berbahaya dan samar-samar. Pada jalan kenabian latihan bersuluk dan berkhalwat tidaklah sepenting menjaga tuntutan fardu di samping menjalankan tugas dalam kehidupan harian. Praktek di jalan kenabian tidak mengganggu pekerjaan harian, tidak perlu mengasingkan diri ke tempat yang tidak ada orang. Cara yang diajarkan oleh Sunah Rasulullah saw bisa mencegah seseorang terbawa ke dalam zauk, bertingkah aneh, meratap dan menangis atau mengeluarkan kata yang melanggar syariat. Orang yang berjalan pada jalan kenabian tidak mengambil tahu tentang tajalli Tuhan, Rahasia Tuhan, fana dalam Tuhan, baqa dengan Tuhan atau yang sejenisnya. Kasyaf, zauk, jazbah dan keramat jarang sekali ditemukan pada orang yang melalui jalan kenabian. Jika ada pun hal yang demikian terjadi, itu terjadi bukan disengaja, tidak dibuat praktek khusus untuk memperoleh yang demikian. Mereka yang berbuat menurut Sunah Rasulullah saw mendapat kelezatan di dalam shalat dan membaca al-Quran bukan di dalam zauk. Mereka bertindak mengelola kehidupan harian secara manusia biasa tanpa harus bersandar pada kekeramatan. Mereka menetap di dalam kesadaran, tidak dibawa ke alam fana. Mereka terus berada di atas landasan kehambaan, tidak memasuki suasana bersatu dengan Tuhan atau baqa dengan-Nya. Mereka menghabiskan waktu dengan melakukan tuntutan syariat, bukan membahas tentang af'al, asma ', sifat dan zat Tuhan. Mereka berpegang kuat kepada wahyu dan kata Rasulullah, tidak mencari-cari apa yang disebut ilmu rahasia, ilmu isi atau yang sejenisnya.

Orang yang berjalan pada jalan kenabian tidak diminta berperang dengan jasad dengan melakukan latihan yang menyakitkan jasad. Pada jalan kenabian penekanan diberikan pada soal kesederhanaan dan menjaga agar tidak melampaui batas. Diizinkan melakukan pembalasan tetapi sekadar kejahatan yang dilakukan orang, jangan melampau dalam pembalasan dan jika sanggup memaafkan adalah lebih baik. Diizinkan tidur tetapi jika bangun shalat tahajjud adalah lebih baik. Diizinkan makan dan minum tetapi jika berpuasa adalah lebih baik. Cara yang demikian lebih memudahkan masyarakat mengikutinya. Orang khusus ini bisa mencapai tujuan melalui jalan ini.

Pengembara di jalan kenabian membangun kecintaan kepada Allah berdasarkan bimbingan syariat. Cinta yang lahir melalui cara yang demikian di dalam batasan rasional, tidak terjadi kecintaan yang asyik mahsyuk sehingga lupa diri dan makhluk di sekeliling. Kasih yang rasional melahirkan rasa syukur tatkala menerima nikmat dari Allah SWT dan sabar dalam menerima ujian. Cara yang demikian membuat kehambaan selalu menemani pengembara di jalan kenabian. Rasa tergantung, berhajat dan berharap kepada Allah tidak pernah lepas dari hati hamba itu. Kasih yang berdasar pada iman menjadi lebih kuat dengan cara mendukung syariat, sesuai Sunah Rasulullah saw, dengan tulus ikhlas beramal sesuai dengan perintah al-Quran dan Sunah Rasulullah saw dalam hal lahir dan batin, juga tidak melakukan hal yang munkar. Jika yang demikian dilakukan seseorang itu selamat dari kekufuran dan berikutnya seseorang itu dibawa ke suasana berserah diri kepada Allah Cara yang demikian menundukkan keinginan diri sendiri kepada ketentuan dan kehendak Allah Tunduk kepada ketentuan dan kehendak Allah menambahkan kecintaan kepada-Nya yang didasarkan kepada iman . Kasih yang demikian menjadi lebih kuat ketika dilakukan kebaktian kepada agama-Nya, peraturan-Nya, Sunah Rasul-Nya, menolong makhluk-Nya, menghapus kezaliman dan kemunkaran serta menegakkan keadilan di atas muka bumi. Kasih kepada Allah secara demikian melahirkan juga mencintai makhluk Allah dan orang yang terkait bekerja meniadakan hal-hal yang tidak baik dari umat manusia seperti kemiskinan, penyakit, kesusahan dan lain-lain. Pada jalan kenabian kecintaan kepada Allah berkaitan dengan kecintaan kepada peraturan Allah dan makhluk-Nya. Tujuannya adalah melakukan kehendak Allah sebaik mungkin.

Orang yang berjalan pada jalan kenabian tidak mengalami suasana fana, bersatu dengan Tuhan, baqa, tajalli atau menyaksikan satu wujud (wahdatul wujud) yang biasa ditemukan oleh pengembara di jalan kesufian. Pada jalan kenabian Allah karuniakan yang lebih baik dan lebih benar dari semua itu. Dikaruniakan kepada pengembara di jalan kenabian makna agama yang sebenarnya yang tidak bercampur dengan kesamaran dan kekeliruan. Allah jadikan mereka saksi untuk agama-Nya, menjadi kelompok yang menyatakan kebenaran agama-Nya dan kebenaran Rasul-Nya menyampaikan perintah-Nya. Allah karuniakan kepada mereka makam yang mulia yaitu menjadi penyebar agama-Nya secara benar dan bersih dari bid'ah dan kesesatan. Orang yang berjalan pada jalan kenabian dikaruniai rasa ghirah (kecemburuan) beragama. Perasaan yang demikian membuat mereka siap berjuang melindungi agama dan mempertahankannya dari gangguan musuh-musuh agama. Merekalah yang sebenar-benar dipilih dan dilantik sebagai khalifah Allah di bumi dan diberikan izin menggunakan cop mohor-Nya di dalam melaksanakan tugas kekhalifahan itu. Allah akan membantu, menolong dan membela mereka menjalankan tugas mereka menyebarkan syariat, memakmurkan bumi, mengalahkan musuh-musuh Islam dan menyelamatkan umat Islam dari penindasan bangsa-bangsa lain.

Pada jalan kenabian tidak ada fana dalam perbuatan Allah, fana dalam nama Allah, fana dalam sifat Allah dan fana dalam zat Allah swt Bila tidak ada fana tidak ada juga baqa. Bila itu tidak ada maka tidak ada pula mabuk. Kecintaan kepada Allah berjalan di dalam kesadaran. Tidak terjadi keasyikan yang melahirkan ucapan yang aneh. Tidak ada tangisan dan rayuan untuk bersatu dengan Tuhan atau dukacita karena berpisah dengan Tuhan. Para sahabat yang diasuh sendiri oleh Rasulullah saw selalu berada di dalam kesadaran penuh, bukan kefanaan. Mereka mengejar kecintaan kepada Allah dan jarak dengan-Nya dengan cara mentaati Rasulullah saw di dalam mentaati Allah Mereka bekerja memahami wahyu Tuhan dan mengamalkannya dalam kehidupan harian. Mereka tidak memasuki jalan suluk secara khusus karena untuk mereka kehidupan inilah tempat bersuluk. Suluk mereka adalah takwa, yaitu berjalan di celah-celah duri kebodohan, kemusyrikan, kemunafikan, kemunkaran dan kefasikan. Mereka bersuluk secara menjaga diri agar tidak melakukan dosa dan maksiat terutama syirik kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa.

Rasulullah saw diutus hamba mengalami kegelapan akidah dan keruntuhan akhlak. Beliau berkewajiban menyelamatkan umat manusia. Beliau bekerja keras untuk mengobati penyakit-penyakit yang teramati bangsa manusia dalam segala segi termasuk akidah, akhlak, sistem perekonomian, sistem administrasi masyarakat dan lain-lain. Agama yang dibawa oleh Rasulullah saw mencakup segala aspek kehidupan umat manusia, sesuai dengan akal budi manusia, mengimbangi soal lahiriah dengan soal batiniah. Agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw mengoreksi aspek lahiriah yang telah diputar-balikkan oleh kaum Yahudi dan aspek batiniah yang telah rancu oleh kaum Nasrani. Tugas suci yang ditanggung oleh Rasulullah saw itu ditanggung juga oleh kaum Muslimin yang menjadi pengikut beliau Tugas yang sama dipikul oleh kaum Muslim yang datang kemudian dengan mendukung jalan kenabian.

Jalan yang dibentuk oleh Rasulullah saw dan diikuti oleh para sahabat adalah jalan singkat dalam mencapai tujuan yaitu ridha Allah Jalan yang ada suluk adalah jalan jauh yang harus dilalui oleh orang-orang tertentu karena sesuatu sebab yang perlu, terutama pada zaman yang telah jauh dari zaman Nabi Muhammad saw Ketika beliau masih hidup bimbingan wahyu dan pengajaran langsung dari beliau lebih kuat dan lebih efisien dari cara berkhalwat sendirian jauh dari Rasulullah saw Beriman dan beramal salih lebih dituntut dari mengasingkan diri. Berjuang menyelamatkan manusia dari neraka adalah juga termasuk dalam hal amal shalih. Di dalam melaksanakan tugas suci itu Rasulullah saw dan kaum Muslimin harus berperang menghapus faktor-faktor yang membentengi umat manusia dari sampai kepada kebenaran. Banyak kelompok yang pada awalnya enggan menerima atau mendengar ajaran Islam, telah dengan rela memeluk Islam setelah mereka dikalahkan. Muslim zaman Rasulullah sanggup mati demi menyelamatkan umat manusia dari api neraka.

Nabi Muhammad saw sebagai juru pandu yang terampil telah mengemudikan perjalanan kaum Muslimin di celah-celah kehidupan jahiliyah. Kehidupan jahiliyah dipenuhi oleh duri-duri keruntuhan akidah dan akhlak. Orang jahiliyah menyembah berhala, mendewa-dewakan sesama manusia, arak, berjudi, berzina, membunuh anak-anak perempuan, menyelesaikan permasalahan dengan cara berlaku kejam dan membunuh, menjadikan wanita sebagai alat memuaskan nafsu dan bermacam-macam perlakuan yang melanggar moral dan etika kemanusiaan . Di dalam menangani masalah jahiliyah itu Rasulullah saw menekankan dua hal pokok yaitu mengembalikan akidah manusia kepada tauhid dan mengembalikan akhlak manusia kepada nilai-nilai murni kemanusiaan (fitrah). Selama beliau berdakwah di Makkah fokus beliau adalah akidah dan akhlak. Penekanan pada aspek akhlak semata, yaitu nilai murni kemanusiaan semata-mata, tanpa tauhid, tidak akan mempengaruhi yang mendalam kepada pembentukan kepribadian manusia. Revolusi akhlak semata tanpa revolusi akidah mungkin mampu mengwujudkan manusia yang baik tetapi manusia yang demikian hanya bergerak pada soal-soal materi dan duniawi saja. Keberhasilan dan keunggulan diukur melalui pencapaian pada hal kehidupan duniawi dan materi semata. Tanpa akidah manusia akan mengalami kekosongan jiwa dan kekosongan tersebut akan diisi oleh sesuatu seperti ketaasuban kepada keluarga, keturunan, kaum dan bangsa. Pengisian dengan anasir duniawi itu akan menarik manusia kembali kepada kerusakan akhlak. Banyak orang yang memulai perjalanan mereka dengan baik sehingga memperoleh akhlak yang mulia. Setelah mencapai keberhasilan dan keunggulan di dalam kehidupan lahiriah jiwanya yang kosong diresapi oleh berbagai anasir duniawi dan materi. Akibatnya mereka jatuh ke dalam perilaku yang merusak nilai murni kemanusiaan. Banyak pemimpin yang telah berjuang dengan ikhlas untuk membebaskan negara mereka dari penjajah. Setelah mencapai kemerdekaan dan menjadi pemimpin, mereka yang tidak pengisian akidah itu berubah menjadi tamak kekuasaan dan menindas rakyat. Banyak juga kaum pengusaha yang memulai bisnis mereka secara jujur sehingga masyarakat memberi dukungan luas kepada mereka. Saham mereka melambung naik. Setelah mencapai kesuksesan dan kekayaan, jiwa mereka yang kosong diisikan dengan harta benda. Akibatnya lahirlah sifat menambun harta tanpa batasan sehingga harta orang yang dipercayakan kepada mereka juga diselewengkan. Banyak orang yang memulai sesuatu karir dengan menghormati nilai-nilai murni kemanusiaan, tetapi setelah keberhasilan dicapai, nilai murni tersebut dibuang begitu saja. Orang yang seperti inilah yang selalu mendatangkan kesusahan kepada setiap badan atau asosiasi yang mereka anggotai. Revolusi akhlak akan hancur jika ia tidak mengiringi revolusi akidah. Rasulullah saw telah membangun jalan yang mengkoordinasikan akidah dengan akhlak. Semakin kuat dan benar akidah kaum Muslimin semakin murni akhlak mereka. Kemurnian akhlak kaum Muslimin menjadi daya tarik bagi kaum lain. Orang yang belum Islam lebih mempelajari tentang Islam melalui akhlak kaum Muslimin. Pembentukan akhlak kaum Muslimin merupakan dakwah secara tidak langsung kepada kaum lain. Pada jalan kenabian Muslim berkecimpung di dalam masyarakat dan mereka melakukan dakwah sepanjang masa dengan mempraktikkan nilai-nilai murni kemanusiaan.