Sunday, 23 June 2013

Mereka yang memiliki penglihatan hakiki mata hati ada dua jenis. Jenis pertama adalah yang memiliki nama dan tabir penutup. Hijab nama (asma') tidak terangkat lalu dia melihat di dalam hijab. Dia melihat Allah swt pada apa yang menghijabkannya. Dzikirnya adalah nama yang padanya dia melihat Allah swt. Jenis kedua adalah yang berpisah dengan nama dan hijab, lalu dia melihat Allah dan merasakan ketenangan dengan penglihatan itu. Pada saat itu tidak sepatah pun ucapan yang terucap olehnya dan tidak sepatah pun kalam yang terdengar padanya. Dia melihat nama itu tidak memiliki kekuatan hukum apa pun selain-Nya. Bila nama dinafikan tibalah pada wusul (sampai). Bila tidak terlintas lagi nama tibalah pada ittisal (hubungan). Nama yang tidak lagi terlintas karena kuatnya tarik dari yang dinamai. Makam ini dinamakan makam al-Buhut (merasa heran-hairanan), karena dia melihat Allah dalam merasa heran-hairanan, tiada ucapan kecuali pandangan. Inilah makam terakhir di mana semua hati terhenti di situ. Ini adalah tingkatan tertinggi tentang kecintaan terhadap zat Ilahiat.

Pada tahap ini Nur-Nya memancar, menyinar, menjulang naik ke lubuk hati. Tingkat ini sudah tidak ada zikir dan tiada pula yang berzikir, hanya memandang bukan berzikir dan tidak berbalik kembali pandangannya. Inilah hal yang dikatakan faham dengan tiada deskripsi pemahamannya dan mencapai dengan tiada sesuatu pencapaiannya. Insan di dalam hal ini sudah tidak lagi menerapkan fatwa, tidak meminta persetujuan, tidak meminta pertolongan dan ucapan juga tidak. Baginya setiap sesuatu adalah ilmu dan setiap ilmu adalah zikir. Inilah hamba yang telah benar-benar berhasil menghimpun semua makam dan martabat. Dia sudah melihat takdir-takdir dan melihat bagaimana Allah menghalau takdir demi takdir dan melihat bagaimana Allah mengulangi takdir-takdir itu dengan berbagai cara yang dikehendaki-Nya karena sesungguhnya Allah swt saja yang memulai penciptaan dan Dia juga yang mengulanginya. Penglihatannya tidak berbolak-balik lagi. Dia melihat Allah di depan dan di belakang apa yang dilihatnya dan melihat Allah dalam segala yang dilihatnya.

Ketika kerinduan terhadap Allah swt telah menguasai hati seseorang sampai ke tingkat tidak ucapan yang bisa diucapkan maka kondisi itu dikatakan melihat Allah yang tiada sesuatu yang menyamai-Nya, sebagaimana firman-Nya:

Tidak sesuatupun yang sebanding dengan (Zat-Nya, sifat-sifat-Nya, dan administrasi)-Nya, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Ayat 11: Surah asy-Syura)

No comments:

Post a Comment