Jakarta - Pemerintah telah menyerahkan draf baru RUU Kamnas kepada DPR. Meski sudah melalui perbaikan dan penghapusan lima pasal, draf itu dianggap masih mengandung pasal-pasal berbahaya. Apa sajakah pasal-pasal itu?
"Setelah saya baca ada beberapa pasal yang masih krusial, pertama pasal 14 ayat 1, yaitu status darurat militer diberlakukan bila ada kerusuhan sosial. Nah, kerusuhan sosial bisa dibuat darurat militer, padahal darurat militer itu kalau ada pemberontakan senjata atau serangan militer dari luar," kata Wakil Ketua Komisi I TB Hasanuddin di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (25/10/2012).
Menurutnya, untuk kerusuhan sosial yang sifatnya rendah atau mungkin seperti yang terjadi tahun 1998 tidak perlu diberlakukan darurat militer, cukup dengan darurat sipil. Dengan darurat sipil, TNI tidak bisa masuk. Namun jika terapkan darurat militer, sepenuhnya akan diambil alih kekuatan TNI.
"Kedua, pasal 17 ayat 4, ancaman potensial dan aktual ditentukan dan diatur dengan peraturan pemerintah. Jadi presiden boleh membuat skenario siapa saja yang dijadikan ancaman. Jadi kalau misalnya ada mogok dikeluarkan perpres kalau ini ancaman dengan segala kekuatan bisa dikerahkan pasukan," lanjut TB.
Pasal selanjutnya yang dinilai berbahaya adalah pasal 22 ayat 1. Manurutnya, dalam draf baru masih tetap menggunakan penyelenggaraan kamnas melibatkan peran aktif penyelenggaraan intelejen negara. Artinya, intelejen dulu bergerak baru departemen yang lain. Padahal tidak semua demikian. Ada yang boleh diintervensi inteleijen, ada yang tidak.
"Lalu pasal 27, ini cukup krusial, Panglima TNI menetapkan dan melaksankan kebijakan operasional berdasarkan kebijakan dan strategi penyelenggara keamanan nasional," kata TB.
Ini mestinya menurut TB, panglima TNI menyelenggarakan kebijakan operasi dan strategi militer menurut fungsi TNI saja, tidak harus mengiktui kebijakan Wankamnas. Dengan kebijakan wankamnas, TNI bisa melakukan apa saja dan menjadi keluar dari UU no 34 tahun 2004 tentang TNI.
"Pasal 30, presiden dapat mengerahkan unsur TNI tertib sipil. Dalam keadaan seperti ini bisa dikerahkan TNI. Kemudian berikutnya, pasal 32 ayat 2 pelibatan masyarakat dalam menghadapi ancaman diselenggarakan melalui komponen cadangan dan komponen pendukung, ini sama sekali istilah baru dalam RUU Kamnas," lanjutnya.
"Nah terakhir, pasal 48 ayat 1c, komando dan kendali tingkat operasional, maksudnya di wilayah propinsi ditangani panglima atau komando satuan terpadu, ini jelas oleh panglima kodam. Dalam ayat 1d-nya, untuk komando dan pengendalian operasioanal di tingkat kabupaten adalah komandan satuan taktis bisa oleh bataliyon atau komandan kodim," imbuhnya menjelaskan.
Ia menuturkan, apakah dengan RUU Kamnas peran-peran TNI akan dikembalikan digeser lagi seperti peran zaman dulu atau kita mengikuti UU TNI.
"Kalau mau mengembalikan peran TNI seperti zaman dulu ya diberlakukanlah UU Kamnas ini, tapi kalau kita mau meneruskan reformasi, tidak perlu ada UU ini," ucapnya.
Ditanya soal sikap PDIP, ia menyatakan PDIP tegas menolak RUU Kamnas, karena ingin melanjutkan reformasi. Selain bahwa RUU Kamnas tidak dibutuhkan karena sudah ada dalam undang-undang lainnya seperti UU TNI.
"Kalau sikap PDIP saya kira aturan-aturan sudah ada, peran TNI seperti ini, Polri dan sebagainya. Dan kalau mau kita jujur, untuk masalah sosial, peran TNI, Polisi ada dalam UU PKS (Penyelesaian Konflik Sosial), tidak perlu diturunkan semua pasukan sesuai UU (kamnas) ini," tutupnya.
No comments:
Post a Comment