Penularan HIV tak mengenal usia. Bayi baru lahir pun terancam virus ini akibat perilaku seks berisiko dari orangtuanya. Pemerintah terus melakukan upaya yang sungguh-sungguh untuk menanggulangi penyebaran HIV, antara lain mendorong puasa seks, saling setia dan penggunaan kondom untuk seks berisiko.
HIV (Human Immunodeficiency Virus) dan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome), ada di tengah-tengah kita. Bahkan, bukan cerita baru, kalau ada bayi tertular HIV yang menggerogoti kekebalan tubuh ini. Kesalahan pun tak jarang ditimpakan pada sang ibu. Benarkah ibu merupakan sumber penularan infeksi bagi buah hatinya?
'“Tidak!”, demikian tegas oleh Menteri Kesehatan, Nafsiah Mboi. “Saya tidak suka bila dikatakan (penularan HIV) terjadi dari ibu ke bayi,” tambah Menkes. Karena bayi tertular HIV, sebetulnya dari orangtua ke bayi. Bahkan, sebagian besar kasus penularan HIV ini berawal dari suami ke isteri, baru kemudian ke bayinya.
Pernyataan ini masuk akal. Karena, berdasarkan data Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes RI hingga Maret 2012, 71 persen pengidap AIDS adalah laki-laki, sedang perempuan sebesar 28%. Perbandingannya 3:1. Nah, bila laki-laki ini berstatus suami, maka terbuka peluang besar isteri akan tertular HIV/AIDS.
Untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS, Kementerian Kesehatan kini melakukan berbagai langkah pencegahan. Ada tiga upaya preventif yang dilakukan, yakni pertama pencegahan melalui transmisi seksual. Kedua, pencegahan penularan melalui alat suntik. Ketiga, menekan terjadinya kasus ibu menulari bayinya.
Seks risiko tinggi
Harus diakui, pencegahan melalui transmisi seksual merupakan langkah yang tak mudah untuk ditempuh. Kalau dilihat dari penyebab utamanya, HIV/AIDS justru berkembang karena terjadinya hubungan seks risiko tinggi, bukan lagi penggunaan narkoba suntik.
Pengeritan seks berisiko adalah hubungan seks yang berisiko terjadinya penularan penyakit atau kehamilan yang tidak direncanakan. Yang perlu menjadi perhatian adalah penyebaran berlangsungnya seks risiko tinggi ini terjadi di banyak tempat.
Tidak ada satu pun pelabuhan yang bebas dari jasa prostitusi. Juga di terminal-terminal, maupun obyek-obyek wisata. Transaksi seks ini terjadi, baik secara terbuka maupun terselubung.
“Kita lihat di banyak proyek pembangunan jalan, pertambangan, perkebunan, setelah dilakukan mapping datanya, memang betul terjadi pelacuran,” ujar Menkes. Saat ini, tambahnya, sedang terus dibahas bagaimana cara mengatasi ancaman kerawanan tersebut.
Yang tak kalah memprihatinkan adalah terjadinya peningkatan penularan penyakit akibat hubungan seks yang signifikan di kalangan ibu-ibu di DKI Jakarta. Salah satu cara untuk menghindari penularan tersebut adalah dengan penggunaan kondom.
Namun, langkah ini cukup dilematis. Karena, bila dipahami secara keliru atau terjadi mispersepsi, apalagi jika disalahgunakan, upaya ini justru dapat berdampak negatif, misalnya munculnya seks bebas di kalangan remaja.
Karenanya, untuk meningkatkan pengetahuan komprehensif di kalangan remaja usia 15-24 tahun, Kemenkes telah meluncurkan program kampanye Aku Bangga, Aku Tahu (ABAT).
Kampanye terhadap generasi muda ini sekaligus bertujuan mengajak masyarakat agar dapat meningkatkan pengetahuannya tentang HIV dan AIDS. Dengan begitu, diharapkan kaum remaja dapat menghindar dari perilaku berisiko tertular dan atau menularkan HIV.
Di sisi lain, terkait pencapaian sasaran MDGs (Millennium Development Goals), salah satu indikator keberhasilannya adalah penggunaan kondom pada seks berisiko. “Itu program kami, yakni memproklamirkan penggunaan kondom pada seks berisiko. Kalau yang tidak berisiko, tidak pakai kondom ya tidak apa-apa,” jelas Menkes.
Total football
Langkah pencegahan kedua adalah pencegahan penularan melalui alat suntik. Sebagaimana diketahui, penularan HIV/AIDS dapat melalui jarum suntik yang digunakan secara bergantian. Hal ini biasanya terjadi di kalangan pencandu narkoba.
Untuk itu, Kemenkes sudah membuat suatu program kerja yang bersifat menyeluruh. “Pendekatannya harus total football. Kami bekerjasama dengan BNN dan kepolisian,” jelas Menkes.
Sedang untuk mengurangi dampak buruknya, Kemenkes telah membentuk layanan pencegahan penularan HIV/AIDS melalui berbagai fasilitas pelayanan kesehatan (Fasyankes).
“Layanan itu juga termasuk pengobatannya, baik medis maupun kelanjutannya atau rehabilitasi sosial. Untuk itu, kami menggandeng Kementerian Sosial dan LSM-LSM untuk menggulirkan upaya yang kita kenal sebagai Pemulihan Adiksi Berbasis Masyarakat”, jelas Menkes.
Dengan pendekatan jalinan kerja sama menyeluruh ini, Menkes optimis dapat menangani masalah penyebaran HIV/AIDS ini secara lebih baik. “Pendekatan yang komprehensif, integatif di tingkat pelayanan dasar ini merupakan suatu terobosan besar,” tutur Menkes menjelaskan.
Upaya pencegahan yang ketiga adalah menekan terjadinya kasus-kasus ibu menulari bayinya. Menkes meyakini bahwa upaya preventif akan segera memperoleh hasil memadai.
“Dengan melibatkan Komisi Penanggulangan AIDS, juga komunitas yang sudah siap membantu, upaya ini akan betul-betul dapat mencegah infeksi HIV/AIDS.”
Layanan komprehensif
Ketiga upaya pencegahan ini telah diperkenalkan kepada masyarakat. Untuk mengurangi hilangnya kesempatan bagi masyarakat yang membutuhkan layanan, Kementerian Kesehatan memperjelas formula Layanan HIV-AIDS Komprehensif Berkesinambungan.
Upaya ini bukanlah upaya baru, melainkan memperkuat upaya-upaya yang telah ada sebelumnya.
Layanan Komprehensif Berkesinambungan adalah layanan dengan unit terkecil di Kabupaten/ Kota. Tujuannya untuk memperkuat sistem kesehatan dan komunitas setempat.
Upaya ini dilakukan bekerjasama dengan komunitas, dengan pendekatan multi sektoral dan jejaring kerja serta rujukan yang jelas.
Upaya-upaya yang dilakukan meliputi promosi kesehatan, pencegahan, perawatan, pengobatan dan dukungan, serta rehabilitasi.
Dengan melakukan promosi kesehatan yang tertuju pada populasi kunci, diharapkan langkah ini tepat sasaran.
“Dengan begitu, seluruh masyarakat yang membutuhkan, misalnya pekerja seks, gay, waria, pengguna narkoba, atau mereka yang sudah terlanjur terinfeksi betul-betul mendapat informasi yang lengkap dan konkrit tentang bagaimana menjaga kesehatannya, dan bagaimana berperilaku hidup sehat,” jelas Menkes lebih lanjut.
Setelah upaya promosi kesehatan dan pencegahan dilakukan, langkah berikutnya adalah pengobatan. Menkes optimis upaya pengobatan akan berlangsung mulus, karena sudah menguasai cara yang mesti ditempuh.
Dukungan obat yang dibutuhkan pun akan terpenuhi. Karena, Kemenkes telah memutuskan untuk membeli 90 persen antiretroviral lewat APBN.
“Hanya sekitar 10-20 persen saja yang dibeli dari anggaran luar negeri. Itu suatu komitmen yang luar biasa,” ujar Menkes. Antiretroviral adalah pengobatan perawatan infeksi oleh retrovirus terutama HIV.
Terkait pengobatan, Menkes berketetapan untuk terus meningkatkan layanannya. Karena, melalui pengobatan penyakit yang lebih efektif dan betul-betul tersebar di seluruh Indonesia, akan dapat menurunkan risiko penularan HIV/AIDS, salah satunya melalui transmisi seksual.
Sementara bagi penderita AIDS, mengacu pada program MDGs, bila sudah AIDS maka pengobatannya harus ditanggung pemerintah.
Namun, tantangannya sekarang ini bukan berfokus pada komitmen pemerintah dalam penyediaan pengobatan gratis bagi para penderita AIDS. Melainkan, berupaya agar mereka yang berisiko terinfeksi agar sedini mungkin mengetahui bahwa dirinya terinfeksi, sehingga dapat ditangani segera dan tidak sampai mencapai AIDS.
“Orang yang terinfeksi HIV tidak perlu menjadi AIDS, kalau dia (bisa) jaga daya tahan tubuhnya,” pungkas Menkes.
sumb3r: http://www.antaranews.com/berita/328120/petaka-infeksi-hiv-berawal-dari-seks-berisiko
No comments:
Post a Comment