Perang itu
diperkirakan
bakal menelan biaya
sebanyak USD 42 miliar
atau setara Rp 398 triliun.
Stasiun televisi Al Arabiya melaporkan, Rabu (22/8), prediksi itu dipaparkan oleh grup informasi bisnis BDI-Coface kemarin. Selain menelan biaya tidak sedikit, ekonomi Israel bakal terdampak langsung lantaran USD 47 miliar (Rp 446 triliun) tersedot buat menalangi biaya perang. Nilai itu setara dengan 5.4 persen total produksi dalam negeri negara Zionis itu tahun lalu. Dampak tidak langsung sebanyak Rp 227 triliun bakal membuat lumpuh sektor bisnis negara itu selama lima tahun sesudah perang.
Gubernur Bank Sentral Israel Stanley Fischer memperingatkan bulan ini bakal terjadi krisis ekonomi di negara Yahudi itu jika Perdana Menteri Benjamin Netanyahu nekat menyerbu Iran. Dia bahkan sempat putus asa lantaran diplomasi Barat buat menekan Negeri Mullah ini menghentikan proyek nuklirnya tidak membuahkan hasil.
Sekadar perbandingan, menurut catatan BDI dalam perang 34 hari melawan Libanon enam tahun lalu, pertumbuhan ekonomi Israel merosot 0,5 persen. Sebanyak 1,3 persen pendapatan negara dipakai buat memperbaiki sektor perumahan dan fasilitas umum. "Perkiraan kami dalam perang lain yang serupa, baik waktu dan segi kerusakan, sangat mungkin perkiraan perbaikan menyedot biaya sampai Rp 37 triliun," tulis BDI dalam laporannya.
Menurut seorang penjabat senior Israel, belum ada keputusan buat menyerbu Iran. Para petinggi militer kecewa lantaran tidak mendapat dukungan dari Amerika Serikat. Padahal, Israel jauh-jauh hari sudah merencanakan menyerang Negeri Persia itu sebelum pemilihan presiden Amerika Serikat digelar November mendatang.
Selama ini Israel menganggap Iran sebagai ancaman lantaran dituding sedang mengembangkan senjata nuklir. Teheran membantah tuduhan itu dan beralasan proyek pengayaan uranium itu buat menyediakan pasokan energi alternatif, utamanya buat pembangkit listrik. Pemimpin kedua negara kerap terlibat perang opini di berbagai media.
sumb3r
No comments:
Post a Comment