Wednesday 10 July 2013

Tentang yang wajib dan sunat, yang dhahir dan yang harus dengan merusak puasa. Adapun wajib yang dhahir, enam hal:
Pertama: mengintip awal bulan Ramadlan. Dan yang demikian itu dengan melihat bulan (ru'jah). Jikalau mendung, maka disempurnakan tiga puluh hari dari bulan Sya'ban. Dan kami maksudkan dengan ru'yah, adalah mengetahuinya. Dan hasil yang demikian itu dengan dikatakan oleh seorang 'adil. Dan tidaklah tetap awal bulan Syawal (hiial Syawal), melainkan dengan dikatakan oleh dua orang 'adil. Karena menjagakan (ihtiath) ibadah. Siapa yang mendengar dari seorang 'adil dan ia percaya perkataannya itu, serta berat sangkanya benar, maka haruslah ia berpuasa, meskipun kadli (penguasa atau pejabat Agama) tidak menjalankannya. Maka hendaklah masing-masing hamba mengikuti tentang ibadahnya menurut berat dugaannya (dhannya). Bila dilihat bulan disebuah negeri dan tidak terlihat dinegeri yang lain dan diantara kedua negeri itu, berjarak kurang dari dua marhalah, maka wajiblah puasa atas semuanya. Dan kalau lebih dari dua marhalah, niscaya bagi masing-masing negara itu, hukumnya sendiri. Dan tidaklah kewajiban berpuasa itu, melampaui ke negeri yang tidak melihat bulan.

Kedua: niat. Dan tak bisa tidak untuk setiap malam, berniat diwaktu malam (mubayyatah) yang tentu, lagi yakin. Kalau diniatkan puasa bulan Ramadlan sekali niat niscaya tidak memadai. Dan itulah yang kami maksudkan dengan kata kami: setiap malam. Dan kalau diniatkan pada siang hari, niscaya tidak memadai untuk puasa Ramadlan dan puasa fardlu lainnya, kecuali untuk puasa sunat. Dan itulah kami maksudkan dengan kata kami: diwaktu malam (mubayyatah). Kalau diniatkan berpuasa secara mutlak atau diniatkan fardlu secara mutlak, niscaya tidak memadai. Bertujuan: fardlu dari Allah Azza wa Jalla puasa Ramadlan.

Kalau diniatkan pada malam diragukan (malam keraguan, apakah ia masih bulan Ramadlan), akan berpuasa besok, jikalau ia dari bulan Ramadlan, niscaya tidak memadai. Karena malam keraguan itu, tidak yakin. Kecuali disandarkan niatnya kepada kata seorang saksi yang 'adil. Dan kemungkinan salah atau bohongnya saksi itu, tidaklah membatalkan keyakinan. Atau disandarkan kepada partisipasi suatu kondisi seperti syak hati pada malam penghabisan dari pada Ramadlan. Maka yang demikian itu, tidak mencegah keyakinan niat. Atau disandarkan kepada ijtihad, seperti orang yang ditahan didalam lubang tanah, ketika berat dugaannya akan masuknya Ramadlan dengan ijtihadnya. Maka keraguannya itu tidaklah mencegahnya dari niat. Sementara ia ragu pada malam diragukan, niscaya tidak bermanfaat akan yakinnya niat denga lisan. Karena niat itu, tempatnya hati dan tidaklah tergambar keteguhan maksud serta keraguan itu. Sebagaimana kalau ia mengatakan dipertengahan bualan Ramadlan: Saya akan puasa esok hari, jika besok itu dari bulan Ramadlan. Maka yang demikian itu, tidak memberi melarat kepadanya, karena itu merupakan keraguan kata-kata. Dan tempat niat tidaklah tergambar padanya keraguan. Tapi ia yakin, bahwa esok itu dari bulan Ramadlan.

Siapa yang meniatkan pada malam hari, kemudian ia makan, maka tidaklah merusakkan niatnya. Kalau berniat seorang wanita didalammasa berkain kotor, (didalam haid), kemudian ia suci (habis haidnya), sebelum terbit fajar, niscaya sahlah puasanya.

Ketiga: menahan diri dari memberikan sesuatu kedalam rongga, dengan sengaja, serta teringat puasa. Maka rusaklah puasa dengan makan, minum, memasukkan sesuatu dalam hidung dan memasukkannya dalam lobang dubur (tempat keluar air besar). Dan tidaklah rusak puasa dengan membetik, berbekam, bercelak, memasukkan alat pemakaian celak kedalam telinga dan kedalam al-ihlil (tempat keluar air kecil dari laki-laki atau lobang kecil dari tempat keluar susu wanita). Kecuali diteteskan kedalam al-ihlil, sesuatu yang sampai ketempat air kecil dari seseorang.

Dan apa yang sampai kedalam rongga badan, tanpa sengaja, dari debu jalan atau lalat yang masuk kedalam rongganya atau apa yangmasuk kedalam rongganya dalam berkumur-kumur, maka tidaklah membukakan puasa. Kecuali ketika bersangatan dalam berkumur-kumur, maka membukakan puasa. Karena ia teledor salah sendiri. Dan itulah yang kami maksudkan dengan kata kami: sengaja.

Adapun teringat puasa, maka kami maksudkan, diluar dari orang yang lupa. Maka tidaklah membukakan puasa bagi orang yang tupa. Orang yang makan dengan sengaja pada dua tepi siang, kemudian ternyata baginya, bahwa ia telah makan pada siang hari dengan sebenarnya, maka haruslah ia meng-qadla-kan puasa itu. Dan jikalau masih dalam hukum dhan dan ijtihadnya, maka tidak wajib qadla. Dan tidak seyogialah memakan pada dua tepi siang, selain dengan memperhatikan dan ijtihad.

Keempat; menahan diri dari bersetubuh. Dan batas bersetubuh adalah masuknya ujung kemaluan laki-laki (al-hasyafah). Jikalau bersetubuh karena lupa maka tidak membukakan puasa.

Jika bersetubuh pada malam hari atau bermimpi (ber-ihtilam), lalu datang waktu subuh sedang ia berjanabah (berhadats-besar) itu, maka tidak membukakan puasa. Dan kalau terbit fajar, dimana ia sedang bercampur dengan istrinya, lalu terus dilariknya, sahlah puasanya. Tetapi jika ia bertahan, niscaya rusaklah puasanya dan wajib ia memberikan kafarat puasa.

Kelima: menahan diri dari mengeluarkan mani (al-istimna '). Yaitu mengeluarakan mani dengan sengaja, dengan bersetubuh atau tanpa bersetubuh. Maka yang demikian itu membukakan puasa. Dan tidaklah membukakan puasa dengan memeluk istrinya dan tidak pula dengan tidur bersama, selama tidak inzal (keluar mani karena dorongan syahwat). Tetapi yang demikian itu makruh, kecuali ia orang tua atau dapat mengendalikan dirinya. Maka dalam hai yang demikian, tidak mengapa berpelukan. Dan meninggalkannya, adalah lebih utama. Ketika ia takut dari berpelukan akan inzal, maka berpeluk itu dan keluarlah maninya maka yang demikian itu membukakan pjiasa, karena salahnya sendiri (taqshir)

Keenam: menahan diri dari mengeluarkan muntah. Maka mengeluarkan muntah itu, merusakkan puasa. Dan jika termuntah, maka tidaklah merusak puasanya. Ketika menelan dahak dari kerongkongannya atau dadanya, niscaya tidaklah merusak puasanya. Karena merupakan suatu kelapangan (rukhshah), lantaran meratanya bahaya yang demikian itu. Kecuali ditelannya, setelah sampai kemulutnya, maka yang demikian itu membukakan puasa.

Adapun yang harus dilaksanakan dengan terbukanya puasa itu, empat hal: men-qadlakan, memberi kafarat, memberi fid-yah dan menahan diri pada siang hari itu, untuk nenyerupakan diri dengan orang yang berpuasa.

Tentang qadla, maka wajibnya adalah umum pada tiap-tiap muslim mukallaf, yang meninggalkan puasa dengan halangan ('udzur) atau tanpa halangan.

Wanita yang berkain kotor (ber-haidl), meng-qadla-kan puasa. Dan begitu pula orang yang murtad (orang yang keluar dari agama Islam, kemudian kembali kedalam Islam, maka haruslah meng-qadlakan puasanya). Adapun orang kafir, anak dibawah umur dan orang gila, maka tak adalah qadla diatas mereka. Dan tidaklah disyaratkan berurutan dalam neng-qadla-kan puasa Ramadlan. Tetapi di-qadla-kan menurut kehendak dari yang meng-qadla-kan, bercerai-cerai atau berkumpul berturut-turut. Tentang kafarat, maka tidak wajib, kecuali karena bersetubuh. Adapun mengeluarkan mani, makan, minum dan. selain bersetubuh, maka tidaklah wajib kafarat.

Kafarat, ialah memerdekakan seorang budak. Jika sulit, maka berpuasa dua bulan berturut-turut. Dan jika tidak sanggup, maka memberikan makanan enam puluh orang miskin, satu mud (secupak) untuk seorang. Tentang menahan diri dari siang hari itu yang masih ada, maka haruslah terhadap orang yang berdosa dengan berbuka itu atau bersalah pada berbuka. Dan tidaklah harus pada wanita yang berhaid, ketika datang
sucinya, menahan diri dari sisa harinya itu. Dan tidak pula atas orang musafir, ketika tiba kembali dari bepergian yang sampai dua marhalah itu dalam keadaan berbuka (tidak berpuasa).

Dan wajiblah menahan diri, ketika naik saksi melihat bulan, seorang adil pada hari-ragu. Berpuasa dalam bepergian adalah lebih utama dari berbuka, kecuali bila tidak sanggup. Dan jangan berbuka pada hari keluar bepergian, dimana ia tadinya bermukim pada awal safarnya (perjalanannya). Dan jangan pula berbuka pada hari kedatangan kembali, ketika ia datang dari perjalan itu dengan berpuasa.

Tentang fid-yah, maka wajiblah atas wanita hamil dan wanita yang menyusui, apabila keduanya berbuka, lantaran takut membawa melarat kepada anaknya. Fid-yah itu diwajibkan untuk setiap hari satu mud gandum (atau beras) untuk seorang miskin, serta meng-qadta-kannya. Dan orang yang sudah terlalu tua, saat tidak berpuasa, maka bersedekah setiap hari satu mud.

Adapun sunat, maka enam hal: mengemudiankan sahur, menyegerakan berbuka dengan kurma atau air sebelum shalat, meninggalkan menggosok gigi (siwak) sesudah zawal (tergelincir matahari), bermurah hati dalam bulan Ramadlan, karena prioritas-prioritas yang telah dijelaskan pada zakat dahulu. Bertadarus AI-Quran dan ber-i'tikaf di masjid, lebih-lebih pada sepuluh yang terakhir dari bulan Ramadlan. Karena yang demikian, "Adalah Rasul صلى الله عليه وسلم. ketika masuk sepuluh yang terakhir, lalu melipatkan tikar, mengikatkan pinggang dan telah membiasakan dirinya dan keluarganya yang demikian (untuk melakukan ibadah) ". (1). Artinya: abadi menegakkan ibadah.

Karena pada sepuluh yang akhir itu, ada malam Lailatul-qadar. Dan yang lebih sering-kali, Lailatul-qadar itu pada malam yang ganjil dari sepuluh yang terakhir. Dan malam yang ganjil yang lebih mendekati, adalah malam satu (21), malam tiga (23), malam lima (25) dan malam tujuh (27). Dan berturut-turut dalam ber-i'tikaf ini adalah lebih utama. Jika bemadzar (berhajat) akan mengerjakan i'tikaf berturut-turut atau meniatkan berturut-turut, niscaya putuslah berturut-turutnya dengan. keluar dari masjid, tanpa ada kepentingan. Seperti kalau ia keluar untuk berkunjung pada orang sakit (iyadah) atau menjadi saksi atau mengantarkan janazah (mayat) atau berziarah atau membaharukan bersuci. Dan jikalau keluar untuk membuang air, niscaya tidak putus i'tikaf. Dan bisa ia berwudlu 'dirumah dan tidak seyogianya ia naik ke urusan lain.
"Adalah Nabi صلى الله عليه وسلم. tidak keluar, kecuali untuk keperluan manusia (membuang air besar atau air kecil). Dan ia tidak menanyakan dari hal orang sakit, kecuali melewatinya saja ". (2).
1. dirawikan Bukhari dan Muslim dari Aisyah
2.Dirawikan Bukhari dan Muslim dari Aisyah

Dan putuslah berturut-turut, karena bersetubuh. Dan tidak putus dengan gemetar. Dan tidak mengapa didalam masjid memakai bau-bauan, melakukan perkawinan ('aqad-nikah), makan. tidur dan mencuci tangan di tempat cuci tangan, Semuanya ini kadang-kadang diperlukan dalam melakukan i'tikaf berturut-turut itu. Dan tidak terputus berturut-turut dengan mengeluarkan sebagian badan. "Adalah Nabi صلى الله عليه وسلم. mendekatkan kepalanya, lalu disisirkan rambutnya oleh 'Aisyah ra, sedang' A'isyah berada didalam kamar ". (2). Sedangkan orang yang melakukan i'tikaf (mu'takif) itu, keluar untuk menunaikan kebutuhannya (melakukan qadla- hajat, membuang airbesar atau airkecil), lalu ketika kembali seyogialah mengulang kembali niatnya. Kecuali apabila ia telah berniat awalnya, sepuluh hari misalnya. Meskipun begitu, yang lebih baik, niat itu diperbarui.

No comments:

Post a Comment