Pembaca berita (news anchor) perempuan berjilbab di stasiun televisi milik pemerintah Mesir akhirnya bisa tampil dengan jilbabnya. Ini muncul setelah pemerintah Mursi, pada pekan lalu, mencabut larangan bertahun-tahun terhadap pembaca berita perempuan berkerudung yang diterapkan Husni Mubarak.
Keputusan itu mendapatkan sambutan hangat dari para perempuan berjilbab. Di antaranya dirasakan oleh Fatma Nabil, pembaca berita di stasiun ChannelOne Mesir. Setelah bertahun-tahun, kini ia membacakan berita sore dengan jilbab putih di kepalanya.
Bahkan, Menteri Informasi Mesir Salah Abdel Maksoud, Sabtu (1/9), berujar kini stasiun televisi milik pemerintah lebih banyak merekrut pembawa acara dan berita perempuan yang berjilbab. Meski demikian, upaya tersebut tak urung mendapat kecaman dari kelompok lain yang menginginkan masyarakat lebih sekuler.
Menurut analis Khattar Abou Diab, pengajar ilmu politik di University of Paris, mayoritas perempuan Mesir mengenakan kerudung sehari-hari. Tren tersebut bertambah nyata sejak akhir 1970-an, di bawah pemerintahan Presiden Anwar Sadat.
Kini, fenomena itu kembali meningkat setelah kekuatan kelompok Islam berkuasa. Ia mengatakan, Mesir kini memberi ruang lebih pada Islam, tidak seperti pada 1940-an hingga 1960-an, di mana kelompok liberal Mesir punya ruang yang luas.
Abou Diab mengatakan bahwa Mesir adalah “persimpangan jalan antara dunia Sunni dan Syiah,” dan model busana muslimahnya pun “menggabungkan aspek kedua dunia tersebut.”
Sementara itu, dosen sosiologi politik di American University, Kairo, Said Sadek mengatakan, pemberian ruang bagi jurnalis perempuan memakai jilbab di TV merupakan “tanda penghormatan pada hak-hak asasi manusia.”
Sadek menambahkan, rezim mantan Presiden Hosni Mubarak melarang pembawa acara TV berjilbab karena sepertinya perempuan di pedesaan melihat pembawa berita di TV sebagai panutan. Rezim Mubarak, menurut Sadek, "khawatir pembawa acara TV berjilbab akan menyebarkan gerakan jilbab di masyarakat.”
Editor veteran Mesir Hisham Kassem mengatakan bahwa keputusan untuk mengizinkan pembaca berita berjilbab adalah penegakan kebebasan individu. Namun, menurutnya produksi televisi pemerintah harus tetap mengutamakan konten tinimbang penampilan. Apalagi, katanya, biaya produksi merupakan uang rakyat yang diambil melalui mekanisme pajak
sumb3r
Keputusan itu mendapatkan sambutan hangat dari para perempuan berjilbab. Di antaranya dirasakan oleh Fatma Nabil, pembaca berita di stasiun ChannelOne Mesir. Setelah bertahun-tahun, kini ia membacakan berita sore dengan jilbab putih di kepalanya.
Bahkan, Menteri Informasi Mesir Salah Abdel Maksoud, Sabtu (1/9), berujar kini stasiun televisi milik pemerintah lebih banyak merekrut pembawa acara dan berita perempuan yang berjilbab. Meski demikian, upaya tersebut tak urung mendapat kecaman dari kelompok lain yang menginginkan masyarakat lebih sekuler.
Menurut analis Khattar Abou Diab, pengajar ilmu politik di University of Paris, mayoritas perempuan Mesir mengenakan kerudung sehari-hari. Tren tersebut bertambah nyata sejak akhir 1970-an, di bawah pemerintahan Presiden Anwar Sadat.
Kini, fenomena itu kembali meningkat setelah kekuatan kelompok Islam berkuasa. Ia mengatakan, Mesir kini memberi ruang lebih pada Islam, tidak seperti pada 1940-an hingga 1960-an, di mana kelompok liberal Mesir punya ruang yang luas.
Abou Diab mengatakan bahwa Mesir adalah “persimpangan jalan antara dunia Sunni dan Syiah,” dan model busana muslimahnya pun “menggabungkan aspek kedua dunia tersebut.”
Sementara itu, dosen sosiologi politik di American University, Kairo, Said Sadek mengatakan, pemberian ruang bagi jurnalis perempuan memakai jilbab di TV merupakan “tanda penghormatan pada hak-hak asasi manusia.”
Sadek menambahkan, rezim mantan Presiden Hosni Mubarak melarang pembawa acara TV berjilbab karena sepertinya perempuan di pedesaan melihat pembawa berita di TV sebagai panutan. Rezim Mubarak, menurut Sadek, "khawatir pembawa acara TV berjilbab akan menyebarkan gerakan jilbab di masyarakat.”
Editor veteran Mesir Hisham Kassem mengatakan bahwa keputusan untuk mengizinkan pembaca berita berjilbab adalah penegakan kebebasan individu. Namun, menurutnya produksi televisi pemerintah harus tetap mengutamakan konten tinimbang penampilan. Apalagi, katanya, biaya produksi merupakan uang rakyat yang diambil melalui mekanisme pajak
sumb3r
No comments:
Post a Comment